Sekelebat Cerita Jelang Panen Padi

 Tradisi Mangaro (Mengusir Unggas Jelang Panen)

Sebab konon kata orang-orang, hewan yang hidup di hutan ini memiliki telinga angin, jadi bisa mendengar suara dari jarak jauh. Kalau dipikir-pikir unik juga larangan seperti itu, 

                                                    Gambar: Padi menguning jelang panen

Tali itu terbuat dari plastik aluminium yang mengkilap, yang dihubungkan dari satu tongkat ke tongkat lainnya. Tali plastik itu ditarik melintang menyeberangi padi yang sudah menguning. Beberapa diantaranya ditarik meregang, lalu diikatkan pada pondok kecil. Sebagian lainnya sengaja diikatkan pada kayu kecil yang sudah tertancap di pematang. Katanya benda ini untuk mengusir unggas, hama padi yang menyebalkan. Jika benda itu terkena sinar matahari, ia akan mengkilap, membuat silau mata unggas, katanya begitu, rupanya, bukan mata unggas yang silau, malah mata petani yang sakit. 


Di lain sisi, berharap tali plastik pengusiran unggas ini berhasil menjadi alat pengusir, ternyata kurang mempan, hewan itu tetap saja mengendap ke dalam rumpun. Binatang bersayap ini bersembunyi di rimbunan padi yang buahnya masih berair. Saya pernah iseng-iseng mengambil satu biji lalu mengunyahnya, tak disangka rasanya manis sekali, pantas saja si unggas menyukainya.  Jika sudah demikian susah juga jadinya. Akhirnya beberapa petani terpaksa mengandalkan suara dan tenaga untuk mengusir hewan berparuh itu. Mereka menamai kegiatan pengusiran tersebut, dengan sebutan "mangaro". Mangaro adalah tradisi yang dilakukan para petani setiap musim panen dimulai. Kegiatan ini dilakukan saat pagi dan menjelang ashar, sembari membawa bekal untuk dikunyah, agar mangaro tidak jadi kegiatan membosankan. 


Kegiatan itu dimulai dari pengusiran unggas di tepi pematang yang dekat dengan pohon bambu, sebabkan tempat tersebut menjadi sarang terbanyak unggas bertengger. Kalau tak rajin-rajin mengusirnya sudah pasti padi di tempat tersebut habis, yang tersisa hanya beberapa biji saja. 


Kemudian, sambil berlari larian  di pematang sawah boleh menuju ke tengah padi, biasanya di sana juga jadi tempat persembunyian si unggas yang sulit dijamah petani, lantaran jarak antara tepi pematang ke tengah sawah cukup jauh. Kalau tak tahu tekniknya hewan tersebut akan tetap bertengger, oleh karenanya, beberapa petani akan menggunakan bunyi-bunyian yang terbuat dari kaleng, di dalamnya diisi batu lalu diikat dan dihubungkan dengan benang, mulai dari tepi sawah sampai ke pondok sebelah. Jika ditarik sekali akan mengeluarkan bunyi dan hewan pemakan biji itu, langsung lari.


Kalau lelah, boleh lah berhenti sejenak, sambil bernyanyi dan menari untuk menghibur diri di tengah pematang sawah, bak pragawati yang sedang berjalan-jalan di pematangan, tapi, hati-hati dengan pantangan-pantangan yang tak boleh dilakukan saat mangaro ataupun  saat padi akan berbuah. Pantangan ini sudah jadi larangan sejak zaman nenek moyang dahulu, misalnya, jangan terlalu ribut saat mengusir unggas, jangan melempar air ke luar rumah, jangan makan sambil berjalan, sebab larangan itu akan mengundang urang elok datang mengobra-abrik sawah. 


Urang elok yang dimaksud adalah babi. Orang tua dahulu menyebutnya dengan urang elok. Nama itu diberikan kepada binatang tersebut dengan tujuan, agar hewan itu tak mendengar ketika namanya disebutkan, sebab konon kata orang-orang, hewan yang hidup di hutan ini memiliki telinga angin, jadi bisa mendengar suara dari jarak jauh. Kalau dipikir-pikir unik juga larangan seperti itu, terlepas dari benar atau tidaknya anggapan itu, tak perlu jadi pertentangan. Karena jauh dari itu semua, keunikan itulah yang menjadi jati diri dan cerita tersendiri di dalam kampung. Peristiwa seperti inilah yang membuat keakraban antar sesama warga kampung jadi terjalin dan mencegah kegiatan-kegiatan yang secara agama pun juga dilarang.


oleh: Intan Suryani

0 Comments