Oleh K Suheimi
"Masih ada 3 lagi keatas air terjunnya pak, bagus air terjunnya, tapi medannya semakin berat" kata Marwan yang ketua pemuda dan olah raga merangkap sekretaris umum Koni Teluk Kuantan.
Marwan sering kesini, karena kampungnya memang di Hulu Kuantan ini.
Ditawari dan ditantang memanjat dan mendaki untuk menggapai tujuh tingkatan air terjun, saya ingin sekali. Ah kalaulah tantangan ini ditawarkan ketika saya muda dulu, pasti saya ikuti. Tapi kini di usia masuk 64 tahun, tambahan badan yang gemuk, menyebabkan saya fikir-fikir 2 kali.
Untuk sampai ke Tingkat ini saja nafas saya sudah ngos-ngosan, keringat sudah membasahi badan ini sejak dari ujung rambut sampai ujung kaki. Apalagi melihat istri saya, rasanya kami tak sanggup. Tadi saja rasa-rasa ndak akan sampai kemari. Medannya berat tantangannya besar.
Untunglah tempat mendaki dan memanjat ini sudah di bikin jenjang dan teralis, seperti jenjang yang dibuat pak Rainal Rais di Bukit Merah Putih di Sulit air.
Waktu mendaki dan memanjat itupun saya genggam jemarinya, takut saya dia ter sialir dan tergelintir. Kalau sudah setua ini, jika jatuh akan berdebam dan kalau patah sulit sembuhnya.
Dalam hati saya berkata. Kenapa baru sekarang tempat ini di temui. Kalaulah dulu, akan saya panjat dan akan saya daki sampai ke tingkat Tujuh.
Namun di tingkat 4 ini saja sudah luar biasa indahnya. Suatu telaga sunyi, airnya jernih tapi seram, lantunan cahaya pohon disekitarnya memukau. Air terjun yang tak henti2nya menebarkan tempias yang menyapu peluh di muka. Ntah mana yang peluh, entah mana yang tempias, semuanya berpadu, menyatu jadi satu. Keringat terasa asin, sedang tempias sangat sejuk.
Melihat pemandangan ini, saya ingin merasakan lebih dalam lagi. Saya ingin menikmatinya, saya ingin berenang. Saya mulai buka baju dan celana. Tiba-tiba istri saya berbisik "ingat kita tidak muda lagi" katanya sambil menyapu keringat di kening saya. "Badan masih panas, masih berkeringat, kalau kecebur ke air nanti sakit". Saya mengangguk membenarkan kata istri saya, ya dia benar. "Apalagi" ulasnya lagi. "Dari tadi kan ada pasien yang harus ditolong, jadi hari ini juga, kita harus kembali ke Pekanbaru" pintanya.
Saya tahan ke inginan yang sudah menggebu-gebu. Saya kancingkan kembali buah baju, kami nikmati telaga sunyi dengan air terjunnya yang luar biasa mempesona.
Saya amati seekor kodok besar kira2 berat satu kilo, dengan enak berenang dan memanjat batu, seakan men cemeeh saya. Saya ingin berenang seperti renang kodok itu. Saya amati kodok besar itu, melenggang seperti lenggang kangkung. Berenang dan menggapai dan memanjat batu. Dalam hati saya berbisik "Kodok, aku iri padamu"
Saya gemgem kembali jemari istriku. Saya tahu dia mengkhawatirkan keselamatan dan kesehatanku.
Dia agak panggamang, saya bimbing dan saya tuntun di penurunan. Penurunan yang terjal. Sepenggal kenangan di tingkat ke empat Air terjun.
Tergiang Firman Nya
Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan
Air terjun 23 Mai 2010
0 Comments