BANGKAI OPLET



Oleh : Dr.H.K.Suheimi

Di Lembah Anai saya saksikan pemandangan yang mengerikan itu, seharusnya sesampai di lembah anai saya ingin menyaksikan  pemandangan  cagar alam yang luar biasa indah dan  mengagumkan.  Liku-liku  air  yang gemericik di celah-celah  bebatuan,  mengeluarkan buih yang halus di sepenjang lembah anai, hutan yang lebat dengan monyet  yang berjuntaian, serta jalan yang berliku-liku  menambah asyiknya  memandang dan menikmati lembah yang  betul-betul  indah itu.


Tapi di sebuah kelok di dekat cubadak bungkuk, kami saksikan bangkai  oplet yang sudah remuk, hancur luluh berantakkan,  tidak tahu  lagi bagaimana bentuknya, atapnya sudah tercampak,  mukanya sudah terlipat ke belakang, tempat duduknya hancur, pecahan  kaca tersebar  di mana-mana. Sehari sebelumnya oplet itu  berlaga  kambing  dengan sebuah Bus yang besar, kecelakaan tak bisa  dihindarkan lagi, oplet itu terseret sejauh 30 meter, penompang  yang di dalamnya tergilas terjepit dan serpihan-serpihan daging  serta tetesan  darah pun bertebaran di mana-mana. 


Sejumlah korban  pagi itu  tergeletak  di pinggir jalan. Sekali lagi  lembah  anai  nan permai  di  sirami darah dan di tebari bangkai.  Bangkai  manusia ataupun  bangkai mobil, bahkan pernah bangkai kereta  api.  Kalau ingin kita mencoba mengumpulkan sudah berapa jumlahnya nyawa yang pergi  di lembah anai ini, sudah berapa orang yang  cacat  disitu dan  sudah berapa pula bangkai-bangkai mobil, kereta  dan  sepeda motor yang bergelimpangan di tempat yang justru semua orang ingin menikmati  kesejukannya, ke asriannya, ke  hutan  belantaraannya.


Namun di situ pula kengerian demi kengerian ber gentayangan, belum habis satu datang lagi yang lain, seperti tak henti-hentinya. Ya Tuhan,  kenapa,  kenapa ini harus terjadi?. Salahkah  orang  yang membuat  jalan  yang berliku, salahkah pendakian  dan  penurunan, salahkah  belokkan yang tajam?. Salahkah rambu-rambu yang ada  di tiap  kelokkan  itu, salahkah cermin cembung yang  terpampang  di banyak  kelokkan? Kalau semua itu tidak bersalah, lalu  siapakah yang  salah?  dan apakah yang salah?. Merinding  bulu kuduk ini menyaksikan bangkai mobil dan bangkai manusia bergelimpangan  di sepanjang jalan di Lembah Anai.


Waktu  kami di Australia dan New zealand, seminggu  mengelilingi pulau itu memakai mobil, memang tidak banyak tanjakkan  dan tidak banyak kelokkan dan juga tidak banyak bertemu dengan mobil-mobil  di sepanjang pulau itu. Jalannyapun bagus dan banyak  yang lurus.  Tapi sopirnya, sopirnya itu selalu dan sangat  hati-hati. Dia sadar di tangannya banyak menompang nyawa penompang.  Sedikit saja kekeliruan dan kelalaiannya akan berakibat fatal bagi penompangnya. Kalau ada saja mobil yang akan mendahului, dengan segera sang  sopir ini memperlambat kendaraannya, lalu menepi  ke pinggir jalan.

 

Di kampung saya, sudah memekik klakson dibelakangnya pertanda ada yang ingin mendahului, tidak di berinya jalan dan kesempatan,  bahkan gas makin di tancapnya, kalau ada yang  berniat  mau memotong.  Tidak jarang saling mengadu kekuatan mesin  mobil  dan ber  pacu-pacu  di jalan raya, seperti jalan raya  itu  dia  yang punya. 


Dia tak mau tahu, mungkin orang yang ingin mendahului  ini karena  ada  keperluan yang mendadak, ingin menolong  orang  yang sedang kesakitan mau melahirkan, atau sedang membawa orang  sakit dan  ber  macam-macam keperluan yang  harus  diburukannya.  Kedua mobil  itu berlomba, tidak mau kalah, sehingga resiko untuk berlanggar tak dapat di elakkan. Maka kalau di hitung-hitung,  lebih tinggi  angka kematian yang di sebabkan kecelakaan  daripada yang di sebabkan oleh karena peperangan. Kasihan demikian banyak nyawa  yang melayang, hanya karena kecerobohan dan ke tidak sabaran pengemudi.

     

Pengemudi dia adalah pemimpin didalam mobil yang  dikendarainya,  di  tangannya tergantung keselamatan  penompangnya.  Dan sebagaimana  dan dimanapun; selalu di katakan setiap kamu  adalah pemimpin  dan setiap pemimpin kelak akan di mintakan  pertanggung jawabnya terhadap apa-apa yang di pimpinnya.


Darah  telah menetes di Lembah Anai, serpihan  daging  telah terserak di mana-mana, bangkai telah bergelimpanggan, baik  bangkai  manusia  maupun bangkai kenderaan. Lembah anai  tempat  yang indah  itu telah lama menjadi saksi bisu tentang  kehancuran  dan kemusnahan  dan  ke binasaan. 


Belum cukupkah  korban-korban  yang bergelimpangan itu?. Akankah di tambah dan bertambah banyak juga korban-korban  yang akan datang?. Siapa tahu mungkin  adik,  saudara,  teman  dan entah siapa lagi, semua kita ndak  tahu.  Semua korban  yang  jatuh itu, jadi korban yang sia-sia,  hanya  karena kelalaian, sekali lagi karena kelalaian.


Tugas  kita sebagai  penompang  di atas  kendaraan,  agaknya adalah untuk selalu memberi tahu dan mengingatkan kalau-kalau ada sopir  yang lalai, lalai akan batas kecepatan, lalai akan  rambu-rambu  yang  di  langgar, lalai dan tak ingat  bahwa  dia  sedang bertanggung jawab membawa banyak penompang. Mari sama-sama saling mengingatkan, jangan biarkan sang sopir mengantuk, jangan biarkan sang sopir menerawang dan jangan biarkan dia melalaikan kenderaan yang di percayakan padanya.


Untuk  semua itu saya teringat akan sebuah  Firman  suci_Nya dalam Al-Qur'an surat Yaa Siin ayat 6 :"Agar kamu memberi  peringatan  kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah  diberi peringatan, karena itu mereka lalai".

  

Bukittinggi   21 Desember 1992

0 Comments