Suasana berbincang dengan Raja Pagaruyung. Ist |
Oleh Khairul Jasmi
SEHABIS Shalat Jumat (22/2) saya meluncur ke Istano Silinduang Bulan, Pagaruyung, di jantung Minangkabau. Saya hendak menghadap raja.
Memasuki tangga Istano, saya menemukan dua bule Jerman dan anaknya sedang bersama anaknya di halaman Silinduang Bulan. Di atas Istano berdiri Prof Raudah Thaib Tuan Gadih Pagaruyung. Uni Upik ini tersenyum melihat saya datang.
Ketua Bundo Kanduang tersebut, mempersilahkan saya naik. Raja belum datang, tapi tak lama benar kemudian yang ditunggu pun tiba, didahului dua saudara perempuannya. Tokoh sentral dalam kerajaan ini baru dinobakan sebagai Rajo Alam pada 29 September 2018.
Dialah Dr Sultan M Farid Thaib Tuanku Abdul Fattah sebagai Daulat Yang Dipertuan (DYD) Rajo Alam Pagaruyuang, setelah mangkatnya Sultan Muhammad Taufiq Thaib. Dalam penobatan ini setidaknya hadir lebih kurang 50 raja dari berbagai daerah di Nusantara.
Saya datang ke sini untuk memberitahu, akan datang pemangku adat dari Nagari Adat Supayang, Kecamatan Salimpuang. Mereka datang untuk mengundang Daulat untuk bisa hadir dalam acara “menaiki” rumah gadang limo ruang kaum Datuk Sati, suku Koto Dalimo, 16 September mendatang.
Tentu saja, tata cara mengundang Daulat harus ada sebab yang dinaiki adalah rumah gadang, bukan kantor. Kami berbincang-bincang banyak hal tentang adat dan budaya Minangkabau. Juga menyangkut datuk-datuk di nagari-nagari.
Saya sudah lama kenal Uni Upik. Istri almarhum sastrawan Wisran Hadi ini, adalah profesor di Fakultas Pertanian, Unand dan juga penyair. Sambil bicara ringan, saya nikmati lamang Limo Kaum yang enak itu. Dihidangkan juga pisang, persis pisang untuk menantu baru. Sempurna.
Cerita yang menarik bersama Daulat dan Uni Upik, membuat saya hanyut lebih dari dua jam. Sudah sering ke Pagaruyuang, baik Istano Basa maupun Istano Silinduang Bulan, tapi berbincang dengan raja baru kali ini.
Orang yang sederhana, bicaranya baik dan berisi. Perbincangkan kami juga menjulur jauh pada kontribusi kerajaan-kerajaan pada Indonesia yang baru merdeka. Selain itu juga pada matrilinial Minangkabau yang sesungguhnya modern. Pada tatanan hidup beradat berbudaya di nagari dengan pusat kehidupan pada kaum. Selain itu juga ide-ide untuk merancang masa depan yang lebih baik.
Ashar telah masuk, Rajo Pagaruyung ini minta izin untuk Shalat Ashar, saya pun pamit. “Mintak pisang ciek Uni,” kata saya sembari menyambar pisang di piring. Saya turun, Uni Upik dan saudara-saudaranya berdiri di puncak tangga melepas saya.
Nikmatnya kopi Silinduang Bulan masih terasa, mobil berjalan keluar halaman dan di jendela-jendela itu tak bersarang lebah, sahabat-sahabat kecil keluarga Silinduang Bulan. Lebah tak jahat itu, sedang berkelana ke rimba raya Bukit Barisan di Sialang sana. Pada saatnya akan kembali ke sini. (*)
0 Comments