JAKARTA – Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) menunjukkan komitmen kuat untuk terus mengawal penanganan kasus persekusi yang dialami oleh seorang jurnalis perempuan (YNQ) yang tengah bertugas di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Ketua FJPI, Khairiah Lubis, menyampaikan apresiasinya atas dukungan yang diberikan oleh Polri, Dewan Pers, serta berbagai organisasi pers lainnya yang turut berupaya memastikan keadilan bagi korban yang saat ini penanganannya berada di Polresta Mataram.
“Kekerasan terhadap jurnalis, apalagi jurnalis perempuan yang sedang menjalankan tugasnya, tidak boleh dibiarkan. FJPI akan terus mengawal kasus ini hingga keadilan bagi korban dapat ditegakkan seadil-adilnya,” tegas Khairiah Lubis dalam keterangan persnya, Jumat (18/4/2025).
Sebagai bentuk keseriusan dalam mengadvokasi kasus ini, FJPI telah menggelar diskusi daring yang melibatkan berbagai pihak terkait pada Rabu (16/4/2025). Diskusi tersebut menghadirkan Kombes Rita Wulandari Wibowo (Kasubdit 1 Dittipid PPA-PPO Bareskrim Polri), Ninik Rahayu (Ketua Dewan Pers), Erick Tanjung (Koordinator Komite Kekerasan Jurnalis/KKJ Indonesia), Haris Mahtul (Koordinator KKJ NTB), Chikita Marpaung (LBH Pers), serta Yan Mangandar (penasehat hukum korban).
Khairiah Lubis menekankan bahwa perlindungan hukum bagi jurnalis yang menjalankan profesinya telah dijamin oleh Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Selain itu, Pasal 4 ayat (2) UU Pers juga secara jelas menyatakan hak pers untuk mengakses, mengolah, dan menyampaikan informasi kepada publik tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Kebebasan pers, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU Pers, juga harus dilindungi dari segala bentuk pembatasan yang dapat menghambat kinerja jurnalis.
Yan Mangandar dan Haris Mahtul memaparkan kronologi kasus kekerasan yang menimpa YNQ, seorang jurnalis dari media daring Inside Lombok. Peristiwa tersebut terjadi pada 11 Februari 2025, saat korban bersama sejumlah jurnalis lainnya melakukan peliputan banjir di komplek perumahan yang dikembangkan oleh PT MA di Kecamatan Labuapi, Lombok. Kedatangan para jurnalis bertujuan untuk meminta konfirmasi dari pihak pengembang terkait dampak banjir yang terjadi.
Namun, saat proses wawancara berlangsung, perwakilan PT MA justru melayangkan protes kepada korban terkait unggahan berita banjir di akun media sosial Inside Lombok. Korban kemudian mengalami persekusi dan intimidasi, dengan pihak pengembang mempertanyakan kredibilitas pribadinya dan enggan memberikan keterangan. Merasa tertekan dan tidak tahan dengan perlakuan tersebut, korban memutuskan untuk keluar ruangan dan menangis.
Ironisnya, oknum dari pihak pengembang perumahan berinisial AG kemudian mengejar korban. Saat itulah, tindakan kekerasan diduga terjadi, di mana pelaku menarik tangan dan meremas bagian wajah korban yang saat itu tengah mengandung dua bulan.
Kasus kekerasan ini kemudian dilaporkan ke Polresta Mataram. Namun, langkah mengejutkan diambil oleh pihak kepolisian dengan menghentikan penyelidikan kasus tersebut pada tanggal 29 Maret 2025. Alasan penghentian penyelidikan adalah karena pihak kepolisian menilai perbuatan terlapor belum memenuhi unsur pidana sesuai Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Yan Mangandar menyayangkan keputusan tersebut. Ia mengungkapkan bahwa saat melaporkan kejadian, pihaknya berupaya mengajukan laporan berdasarkan Undang-Undang Pers. Namun, penyidik justru mengarahkan agar kasus tersebut diusut menggunakan Pasal 335 KUHP. Selain itu, saksi-saksi, termasuk saksi ahli, yang dihadirkan dalam proses penyelidikan juga ditentukan oleh pihak kepolisian.
Padahal, Yan Mangandar berpendapat bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh terduga pelaku jelas melanggar Pasal 18 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dampak dari tindak kekerasan ini tidak hanya fisik, tetapi juga psikologis. Hasil pemeriksaan psikologi dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram menunjukkan bahwa korban mengalami trauma berat dan tekanan psikologis yang signifikan. Kondisi ini diperparah karena kekerasan terjadi saat korban sedang bekerja dalam keadaan hamil. Akibat trauma tersebut, korban juga mengalami penurunan produktivitas dalam bekerja.
Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis Indonesia (KKJI), Erick Tanjung, menilai bahwa sejak awal pelaporan hingga proses penyelidikan kasus kekerasan terhadap jurnalis perempuan di NTB ini terdapat banyak kejanggalan. Menurutnya, sudah jelas bahwa korban mengalami kekerasan saat sedang menjalankan tugas jurnalistiknya. Penghentian kasus ini menambah daftar panjang impunitas terhadap pelaku kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. KKJI juga terus melakukan advokasi terhadap kasus kekerasan yang dialami Pemimpin Redaksi Floresa.co, Herry Kabut, saat meliput aksi demonstrasi di Manggarai, NTT.
Data dari Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) mencatat bahwa sepanjang tahun 2023 terdapat 89 kasus kekerasan terhadap jurnalis, termasuk kekerasan fisik, verbal, dan kekerasan seksual terhadap jurnalis perempuan. Meskipun jumlah kasus kekerasan pada tahun 2024 menunjukkan penurunan menjadi 73 kasus, Erick Tanjung menekankan bahwa situasi kekerasan yang dialami jurnalis saat ini justru lebih mengkhawatirkan, di mana terdapat kasus teror hingga pembunuhan terhadap jurnalis.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menekankan pentingnya dukungan dari perusahaan media tempat korban bekerja dan berbagai organisasi pers untuk terus mengawal kasus ini. Ia juga mengapresiasi semua pihak yang sejak awal telah memberikan pendampingan kepada korban. “Sejak awal, korban menunjukkan kesiapan untuk menempuh jalur hukum, dan kasus ini memang perlu dikawal secara serius,” ujar Ninik.
Chikita Marpaung dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menyatakan bahwa keberadaan Undang-Undang Pers yang mengatur delik pidana merupakan amanat konstitusi dan seharusnya dapat memberikan perlindungan yang efektif bagi jurnalis. Terlebih lagi, kekerasan yang dialami korban terjadi saat ia sedang meliput isu banjir yang memiliki dampak signifikan bagi masyarakat luas.
Sementara itu, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Endang Sri Lestari, Penyidik 1 Tindak Pidana Muda Ditreskrimum Polda Metro Jaya, yang mewakili Kombes Rita Wulandari dari Bareskrim Polri, menyampaikan bahwa berdasarkan laporan dari Polda NTB, Polresta Mataram menghentikan penyelidikan karena belum menemukan adanya tindak pidana. Namun, ia memberikan opsi bagi korban atau kuasa hukum untuk mengajukan permohonan gelar perkara khusus. Jika dalam gelar perkara tersebut ditemukan fakta-fakta baru yang mendukung untuk dilanjutkannya perkara, maka kasus tersebut dapat dibuka kembali.
“Ada dua opsi yang bisa ditempuh. Pertama, mengajukan permohonan gelar perkara khusus untuk mengevaluasi prosedur penanganan kasus ini hingga dihentikan. Jika ditemukan rekomendasi atau fakta baru, kasus bisa dibuka kembali. Kedua, kuasa hukum juga bisa membuat laporan baru dengan menggunakan Undang-Undang Pers, sehingga kasus ini dapat ditangani oleh Direktorat Kriminal Khusus Polda NTB,” jelas AKBP Endang Sri Lestari.
0 Comments