Garis Kemiskinan "Munafik"


Ilustrasi 
Elfindri, Unand

Tulisan ini sengaja diturunkan mengingat Indonesia dari masa ke masa mengutip hasil hitungan BPS yang mengeluarkan data kemiskinan "head count index" dan dihasilkan tiap tahunnya.

Data kemiskinan yang terjadi tentunya dari angka yang tinggi di atas 20 persen sebelum Orde Reformasi, sampai di rentang 20-10 persen era Reformasi, dan kisaran sekitar 9 sampai 9.9 persen pada masa Jokowi selama 10 tahun terakhir.

Jika kita lihat dalam kenyataannya, maka garis kemiskinan yang ditetapkan merupakan sebuah ambang batas moneter yang membuat seseorang masuk miskin. Sementara jika nilai non moneter diperhitungkan, kemiskinan masuk ke dalam kemiskinan relative. Kemiskinan yang jumlahnya sangat banyak, baik karena masalah mental, sosial, psikologis maupun kesehatan.

Saya membuat garis kemiskinan "munafik" dalam judul tulisan ini, karena angka yang ke luar dari garis kemiskinan belum mencerminkan keadaan ekonomi sesungguhnya. 

Bisa jadi dalam rupiah dia bernilai pada di atas garis kemiskinan, yang mencerminkan Indonesia dalam membangun memperlihatkan  dari kemiskinan berkurang dari yang kerak miskin.  

Angka kemiskinan itu dihasilkan sesuai dengan  adopsi BPS terhadap Garis kemiskinan yang ditetapkan. Merupakan nilai rupiah terhadap jenis dan komponen pengeluaran minimal yang disepakati. Maka angka kemiskinan di Maret 2024 sebesar 9.03 persen atau sekitar 25.2 juta orang.

Garis kemiskinan Bank Dunia justru yang tidak "munafik", mengusulkan garis kemiskinan absolut sekitar US  2,1 Dollar, atau Rp 34.624 per hari. Atau Rp 1.026.740 per bulan.  Penetapan garis kemiskinan absolut Bank Dunia jumlah mereka yang masuk dalam kategori miskin bisa berjumlah sekitar 35-40 juta orang.

Bayangkan saja selama Jokowi 10 tahun memimpin kelas menengah yang masuk hampir miskin saja tercatat sebesar 67.6 juta orang.

Mereka yang miskin juga banyak yang 'tidak sadar" bahwa perilaku miskin mereka perlu diperbaiki. Banyak diantara mereka yang merokok, berjudi, berhutang, malas, beribadah seadanya dan sejenisnya. Perilaku perilaku "munafik", yang tidak mau merubahnya ke arah penyadaran, menjadi beban pemerintah.

Di salah satu propinsi bagian termiskin di India, Bihar, masalah kemiskinan didekati dengan mengupayaan penyadaran masyarakat miskin. Cara yang ditempuh adalah dengan membuat peluang rumah tangga miskin dikunjungi oleh mahasiswa dan akademisi. Mereka diberi pengarahan berulang ulang tentang peluang ekonomi dan berupaya untuk meninggalkan sifat "munafik", seperti merokok, berhutang, malas, dan pasrah apa adanya. 

Pengalaman saya mendampingi keluarga nelayan di Pesisir Selatan lebih kurang 3 tahun (2002-2004) semula mereka memerlukan modal kerja, setelah dilakukan pendampingan 6 kali, maka pertemuan ke 7 baru mereka sadar diri bahwa untuk bangkit meninggalkan kemiskinan mesti dengan memompa semangat hidup bahwa mereka sadar dan perlu atas kekuatan sendiri. Modal akhirnya tidak mereka perlukan, namun pendampingan dan teknologi kerja menjadi keperluan utama. Termasuk rajin beribadah merupakan kekuatan baru agar mereka yang miskin semakin percaya diri, beriman, berilmu dan berusaha. (*)

0 Comments