FEMISIDA


Yefri Heriani

Aktivis Perempuan

Hilangnya anak perempuan (AP) 18 tahun, yang sore itu tanggal 6 September 2024 berjualan gorengan keliling di kampungnya di Padang Pariaman dan pada Minggu 8 September 2024, ditemukan telah dikubur. 

Diinformasikan dibagian kepala dan wajah korban ditemukan beberapa memar. Diindikasi AP mengalami tindak perkosa oleh beberapa orang oknum pemuda di lingkungan kampungnya, sebelum dia meregang nyawa. 

Pada bulan Maret 2023 tindakan yang hampir sama dialami oleh seorang pelajar (14). Korban pelajar di sebuah SMP di Tanah Datar. Warga menemukan mayat SP yang dibunuh oleh pacarnya sebagai pelaku di sebuah rumah kosong. Lagi-lagi pembunuhan terjadi, setelah pelaku melakukan tindak perkosaan.  

Kasus lain pada Juli 2024, seorang istri, menjadi korban pembunuhan dengan pelaku suaminya sendiri di Lubuk Sikarah, kota Solok. Pembunuhan terjadi setelah terjadi tindak kekerasan dalam rumah tangga. Pelaku telah melakukan tindakan sadis, sehingga korban tidak berdaya dan meninggal dunia. 

Sementara pada Februari tahun 2022, di Kabupaten Agam, seorang istri dibunuh oleh suaminya, juga setelah terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Dan dalam bulan September, pada tahun yang sama, kasus yang sangat mengenaskan terjadi di Kabupaten Sijunjung, pembunuhan yang dilakukan oleh suami sebagai pelakunya terjadi di hadapan anaknya.  

Lima kasus pembunuhan pada perempuan dan anak perempuan dalam rentang waktu 2022 - 2024, yang terjadi di beberapa kabupaten/ kota di Sumatera Barat ini baru contoh saja. Tentu daftar ini akan semakin panjang, jika kita bersama-sama mengidentifikasinya melalaui berbagai publikasi media dalam rentang tahun tertentu. Apalagi, tidak sedikit kasus-kasus kematian perempuan dan anak perempuan yang tidak mendapatkan publikasi media. 

Kematian AP di Padang Pariaman dan empat korban perempuan dan anak perempuan lainnya bukanlah kematian biasa. Ini merupakan bentuk kekerasan yang paling brutal, keji dan sadis yang dilakukan kepada anak perempuan dan perempuan. 

Secara nasional, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mencatat, rentang 2021 - 2022 ada 307 publikasi media terkait pembunuhan perempuan. Sementara PBB mengatakan setiap jam ada 5 perempuan yang dibunuh keluarganya. 

Dalam sebuah laporan PBB dinyatakan, pada tahun 2021 setidaknya 45.000 perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia dibunuh oleh pasangan atau anggota keluarga mereka.  

Tindakan pembunuhan perempuan karena mereka adalah perempuan dan anak perempuan, dikenal dengan Femisida. Meski istilah Femisida, belum terlalu familiar di telingan kita, tapi kasus-kasusnya dengan cepat dapat diidentifikasi.

Kata femisida berasal dari bahasa latin, yaitu femina yang berarti perempuan dan cide (dari bahasa Latin caedere) yang berarti membunuh. Istilah femisida ini diperkenalkan di Inggris pada tahun 1801 oleh John Corry untuk menandakan tindak pembunuhan yang dilakukan kepada seorang perempuan. 

Femisida terjadi karena kentalnya ideologi patriarkhi dan praktek ketidakadilan gender. Praktek ketidakadilan gender telah melahirkan pandangan bahwa ada superioritas laki-laki, sehingga masih jamak ditemukan fakta bahwa perempuan harus dapat ditaklukan, dikuasai dan ditindas.

Cara fikir bahwa laki-laki berkuasa, istri dan anak dianggap sebagai milik masih bercokol dalam pengetahuan kolektif yang patriakhi. Maka sebagian masyarakat masih beranggapan wajar, tak salah, mengamini, bahkan memberikan dukungan bila laki-laki menunjukan kemurkaan, kemarahan, rasa tersinggung dengan melakukan tindakan kekerasan berbasis gender, hingga melakukan membunuh pada perempuan (istri) dan anak perempuan. 

Femiside, kejahatan yang sadis dan keji pada diri perempuan dan anak perempuan. Femisida dipahami disadari sebagai bentuk kekerasan berbasis gender paling brutal dan ekstrem dalam rangkaian kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan.

Bentuk-bentuk Femisida

Berdasarkan kasus-kasus femisida di berbagai negara, PBB mengklasifikasi bentuk femisida, diantaranya sebagai berikut.

Femisida intim:  pembunuhan perempuan dimana pelakunya adalah pasangan atau mantan. Pelaku bisa juga ayah, saudara laki-laki atau anak laki-laki korban. Dari catatan secara global, perempuan lebih mudah mengalami serangan, diperkosa atau dibunuh oleh pasangan atau mantan pasangannya dari pada laki-laki. Femisida intim ini paling sering terjadi dalam hubungan yang mempunyai riwayat kekerasan berbasis gender dalam pasangan intim. 

Femisida Non-Intim:  pembunuhan terhadap perempuan dimana pelakunya tidak memiliki hubungan intim dengan korban. Pada femisida non intim ini pelakunya melakukan serangan fisik dan seksual. Meskipun, sering aspek kekerasan seksual dalam berbagai kasus sering tidak terbukti melalui penyelidikan, namun tindak kekerasan berbasis gender tentu dapat diidentifikasi. 

Pembunuhan perempuan dan anak perempuan atas nama kehormatan: pembunuhan terhadap perempuan atau anak perempuan sebagai korban dimana pelakunya melakukan tindakan pembunuhan dengan alasan korban telah melakukan tindakan yang dianggap mempermalu keluarga. Pembunuhan ini biasanya dilakukan oleh anggota keluarga laki-laki dan dilakukan dalam berbagai bentuk, termasuk: rajam, penusukan, pembakaran, pemenggalan kepala; memaksa perempuan/gadis untuk bunuh diri; dan menodai perempuan/gadis dengan asam, yang mengakibatkan kematian. Pembunuhan sering terjadi di depan umum untuk memengaruhi perempuan lain di masyarakat.

Pembunuhan bayi perempuan dan pembunuhan janin berdasarkan jenis kelamin:  pembunuhan yang disengaja terhadap bayi atau janin perempuan karena mereka berjenis kelamin perempuan. Hal ini biasanya terjadi dengan cara mencekik, menenggelamkan, mengabaikan, atau terpapar bahaya lainnya. Ketika janin perempuan digugurkan karena mereka berjenis kelamin perempuan, hal ini dianggap sebagai pembunuhan femisida berdasarkan jenis kelamin.

Femisida terkait mutilasi alat kelamin:  pembunuhan yang terjadi pada anak perempuan akibat komplikasi yang terkait dengan mutilasi genital perempuan. Mutilasi alat kelamin perempuan melibatkan penghilangan sebagian atau seluruh dan/atau cedera alat kelamin perempuan untuk tujuan non medis. Mutilasi ini biasanya dilakukan pada anak perempuan antara masa bayi dan usia lima belas tahun. Infeksi yang terjadi akibat tindakan yang tidak higienis sering kali mengakibatkan kematian.

Femisida terkait mas kawin:  pembunuhan pada perempuan bahkan anak perempuan oleh keluarga mempelai pria karena mas kawin yang diberikan oleh keluarganya dinilai tidak memadai, sehingga perempuan dianggap sebagai istri yang tidak cocok. Perempuan (istri) ini kemudian dibunuh atau dipaksa bunuh diri melalui tindakan penyiksaan atau pelecehakan yang dilakukan oleh keluarga laki-laki.

Femisida terkait kejahatan terorganisasi:  pembunuhan terhadap perempuan yang terkait dengan geng, perdagangan narkoba dan/atau manusia, dan penyebaran senjata. Jenis pembunuhan ini dapat mencakup penculikan, penyiksaan dan penyerangan seksual, pembunuhan dan mutilasi, pemenggalan kepala, dan peragaan dan/atau pembuangan secara tubuh telanjang. Kekerasan terhadap perempuan dalam budaya narkoba melambangkan maskulinitas. Perempuan juga dipandang sebagai objek sekali pakai dalam budaya narkoba. 

Perlindungan Hukum Korban Femisida

Hukum Indonesia hingga saat ini belum mengenal istilah femisida. Termasuk Undang Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Dalam UU ini pada pasal 4 ayat (1) mengatakan bahwa tindak pidana kekerasan seksual terdiri dari; pelecehan seksual non fisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual dan kekerasan seksual berbasis elektronik.

Dalam pasal 4 ayat (2), UU Nomor 12 Tahun 2022 ini menyebutkan bahwa tindak pidana kekerasan seksual juga meliputi: perkosaan; perbuatan cabul; persetubuhan anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak; perbuatan kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban; pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; pemaksaan pelacuran; tindak perdagangan orang yang dilakukan untuk eksploitasi seksual; kekerasan seksual dalam lingkungan rumah tangga; tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual; dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Karenanya, perlu dilakukan perubahan peraturan perundang-undangan, agar dapat memberikan perlindungan dan hak-hak bagi perempuan dan anak perempuan korban tindak pidana femisida.

Tulisan ini sebelumnya telah terbit di Harian Singgalang edisi Jumat 20  September 2024. (*)

0 Comments