Politik Uang: Melahirkan Pemimpin yang Tidak Berintegritas

Oleh Stevhanie Ananta

Universitas Baiturrahmah Padang

   

Pemilihan umum (pemilu) merupakan inti dari demokrasi, yang dimana memberikan hak dan kekuasaan kepada rakyat untuk secara langsung atau tidak langsung memilih wakil-wakilnya dalam pemerintahan. Tujuan pemilihan umum ini untuk menghasilkan pemimpin terbaik yang berintegritas tinggi dan memiliki rasa tanggung jawab. Sehingga untuk mencapai tujuan ini, pemilihan umum harus didukung oleh berbagai elemen, seperti penyelenggara, peserta, dan juga proses yang berintegritas. 

Proses pemilu salah satunya terlihat pada pelaksanaan kegiatan kampanye. Pada tahap kampanye ini digunakan untuk menarik perhatian masyarakat. Masyarakat diharapkan untuk memilih selama periode tersebut. Para kandidat atau calon akan bersaing untuk mendapatkan dukungan suara yang lebih banyak .

Namun pada realitanya, seringkali ditandai dengan praktik atau tindakan yang merusak esensi demokrasi itu sendiri: politik uang. Seperti yang kita ketahui, politik uang adalah praktik atau tindakan memberikan uang yang tidak etis untuk mempengaruhi hasil pemilu. Adanya praktik politik uang ini, dapat mengancam prinsip dasar demokrasi yang seharusnya adalah mewakili suara rakyat. 

Dengan memberikan uang atau barang kepada pemilih untuk mempengaruhi pengambilan keputusan tidak hanya merugikan hak seseorang untuk memilih, namun juga merusak esensi demokrasi yang seharusnya transparan dan adil. Pemilu yang seharusnya menjadi wadah mendengarkan suara rakyat, justru bisa berubah menjadi sebuah pertunjukan dimana uang mempunyai pengaruh yang lebih kuat di bandingkan suara rakyat itu sendiri.

Berdasarkan undang-undang nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum  pasal 515 yang bunyinya, ” Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 36.000.000,- (Tiga Puluh Enam Juta Rupiah)”.

Selain menjadi ancaman demokrasi, korupsi juga sebagai dampak dari politik uang. Politik uang pada saat pemilihan umum ( pemilu ) dapat menjadi titik awal terjadinya praktik korupsi. Kandidat atau partai yang menggunakan dana besar demi memenangkan pemilu berpeluang terjebak dalam praktik korupsi setelah terpilih. Setelah berhasil memenangkan pemilihan umum melalui politik uang, terdapat risiko besar bahwa pemimpin terpilih akan menyalahgunakan kekuasaan yang telah diperolehnya. Ada beberapa alasan utama mengapa politik uang dalam pemilu dapat menjadi pemicu terjadinya korupsi.

Pertama, politik uang menyebabkan hubungan yang saling tergantung antara kandidat yang terpilih dan para donor atau pendukung finansial mereka. Penerimaan kontribusi yang besar oleh para kandidat seringkali menimbulkan hutang budi yang tidak diungkapkan. Sebagai imbalan atas dukungan tersebut, penerima mungkin merasa perlu untuk membuat keputusan yang lebih menguntungkan bagi donor, bahkan jika keputusan tersebut tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat. Nah inilah titik awal terjadinya korupsi, di mana kebijakan dan keputusan dibuat untuk memenuhi keinginan sejumlah kecil orang daripada kepentingan seluruh masyarakat.

Kedua, politik uang memiliki kemungkinan untuk mengubah pemilu menjadi ajang yang di mana kandidat bersaing untuk mendapatkan dukungan finansial, tanpa mengandalkan visi atau integritas mereka. Ketergantungan terhadap pendanaan kampanye bisa menjadi peluang bagi praktik-praktik yang tidak jujur, seperti membuat janji - janji yang tidak realistis atau terlibat dalam kegiatan politik yang tidak sehat. Ini menciptakan situasi di mana kandidat bersaing untuk memenangkan pemilihan dengan berbagai segala cara, termasuk melalui tindakan yang dapat merusak sistem demokrasi.

Ketiga, politik uang juga menimbulkan ketidakadilan dalam akses terhadap proses demokrasi. Hal ini menciptakan ketidaksetaraan dalam partisipasi politik. Kandidat yang tidak memiliki cukup sumber pendanaan untuk kampanye mereka mungkin terabaikan, meskipun mereka memiliki visi dan program yang lebih baik untuk kepentingan masyarakat. Hal ini bisa menghambat praktik demokrasi yang sebenarnya, di mana setiap kandidat harus diberi kesempatan yang setara untuk bersaing dan dihargai berdasarkan kualitas pemikiran dan gagasannya, bukan jumlah uang yang mereka donasikan.

Politik uang selama pemilu menimbulkan ancaman serius terhadap integritas demokrasi dan pemerintahan yang baik. Agar demokrasi tetap dapat berjalan dengan baik dan terhindar dari ancaman politik uang, maka langkah-langkah pencegahan sangat perlu sekali terapkan. Hal yang pertama kali perlu dilakukan adalah meningkatkan transparansi dan pengawasan terhadap dana kampanye, membatasi jumlah dan sumber sumbangan kampanye, serta memberikan pemahaman atau edukasi kepada masyarakat tentang dampak buruk dari politik uang. Selain hal tersebut, diperlukan penegakan hukum yang kuat dan tegas terhadap tindakan melanggar norma-norma etika dan hukum yang berkaitan dengan politik uang dan korupsi juga sangat penting sekali.

Dengan langkah-langkah ini, kita akan dapat menuju pemilu yang lebih jujur, adil, dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Praktik korupsi tidak lagi mampu merusak keadilan dan integritas dalam proses demokrasi, dan dengan kerja sama, kita dapat memperkuat landasan untuk sistem politik yang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat daripada kepentingan sekelompok orang kaya.  (*)


0 Comments