Etika Ekonomi Miras



Oleh

Elfindri dir SDGs Unand


Mengutip pandangan filsuf Rocky Gerung, etika ekonomi yang dipasang oleh negara semula adalah keliru. Karena untuk mencari pemasukan negara dari cukai Miras, dihasilkan dari masyarakat yang mabuk.


Produksi miras secara ekonomi pasti untung tapi secara etika keliru. Mesti tobat nashuha siapa yang terlanjur, karena bukan yang mengkonsumsi yang akan menahan dosa, yang membiarkan dan ikut produksi, yang membawakan sampai yang menuangkan ke dalam gelas semua akan tetap diminta pertanggungjawabannya kelak.


Jika Perpres itu benar dicabut lampirannya, maka niat yang salah dari test riak pasar tentu jadi "inconklusif"mudah mudahan siapa semula yang ikut  berniat dan membatalkan alias tidak jadi. Artinya insyallah tidak menjadi dosa. Walahualam.


Tapi memang benar ajaran ekonomi terhadap moral pasar seperti ini tidak selalu jalan dengan nilai nilai universal yang mesti dipegang. Apalagi dalam Islam yang kami ketahui pelarangan dari minuman Kamr ini. 


Dalam ekonomi yang kuat menjadi menang. Apalagi pada pasar monopoli, baik impor maupun ekspor, untuk jenis miras ini memang tidak banyak manfaat maupun mudaratnya.


Pasar miras, sama saja dengan pasar sexs. Setali tiga uang dengan pasar narkoba, menggiurkan sekali. Karena bisnis ini permintaanya besar. Baik dilegal maupun tidak dilegalkan. Ini pernah dibuat analisisnya dalam novel "Jakarta Undercover" tahun 2006 yang ditulis oleh Moamar Emka.


Pasar Miras dalam statistik impor kita memang ada. Karena untuk jenis Miras impor utama berada pada PT Sarinah, perusahaan plat merah.


Kendatipun dalam Agama Islam dianggap haram, peminum miras selain umat Islam juga penganut agama lainnya.


Peredaran pada hotel hotel dan klub malam di empat provinsi, Bali, NTT, Sulawesi Utara dan Papua memang relative lebih tinggi. 


Tarif 5 persen besarnya impor minuman keras tidak menjadi masalah, karena dalam ekonomi bisa jadi barang ini masuk kategori barang lux, kenaikan harga diikuti kenaikan permintaan lebih.


Setelah test riak ini diketahui, Presiden membatalkan tanggal 3 Maret 2021 lampiran perpres. Pembatalan itu sebenarnya tidak cukup. Jika Indonesia ingin menerapkan bebas narkoba.


Di negara maju regulasi jalan bagus dalam kaitan dengan miras. Minuman alkohol tegas dibatasi berapa kadar alkohol boleh diminum oleh yang mengkonsumsinya. 


Beer yang ringan 4.9 persen sampau Vodka 49 persen boleh dikonsumsi. Tapi jenis vodka dan drygin, takaran boleh dikonsumsi dibatasi. Di Australia jika pengendara mabuk, maka simnya dibekukan selama 4 tahun. Kajian menunjukan kematian tertinggi di jalan adalah karena pemabuk tidak sadar dan jalan ke tengah jalan selain mabuk mengendarai kendaraan. 


Di tempat kita memang juga dibatasi konsumsi alkohol, namun karena besarnya konsumen, maka kemampuan menerapkan regulasi tidak selalu berhasil. Di Amerika Serikat pengeluaran negara untuk mengatasi dampak negative miras dan sejenisnya bisa sampai 1.4 persen dari APBN nya.


Ketika di Indonesia asumsikan saja 0.4 persen anggaran digunakan untuk mengatasi dan menerapkan berjalannya Undang-undang Anti Narkoba ini, maka jumlah pemasukan tahunan dari cukai miras belum apa apanya dibandingkan dengan costs.


Kita bicara cost dalam ekonomi tentu masih sekedar berapa beban biaya langsung akibat dari konsumen mengkonsumsi miras. Bagaimana jika dimasukan unsur social costs duniawi? Diantaranya pangkal bala kekerasan terhadap perempuan, dampak terhadap kesehatan, kejahatan dan sebagainya.


Apalagi biaya dosa yang dilarang jelas oleh agama Islam. Karena itu mesti para pengusaha melirik pasar miras ini besar sekali. Bahkan pengusaha miras akan mau membiayai dan berjuang mati matian memproduksi miras ini.


Buktinya pada memasuki lebaran dan tahun baru betapa banyak operasi yang dilakukan oleh kepolisian. Dan ketangkap. Begitu juga angka kematian akibat banyaknya pemuda yang meminum miras ilegal yang dibuat sendiri.


Akhirnya betapapun paniknya sumber pemasukan negara semakin sulit, dalam etika dan moral yang baik masalah cukai dari miras sebaiknya ditiadakan. 


Oleh karena betul juga lebih baik tidak sama sekali diizinkan minuman keras ini baik melalui keran impor maupun melalui produksi.


Seharusnya kita belajar juga dari Risma dan Anis yang keduanya berupaya menutup sumber daerah tidak beretika, rumah bordil dan minuman keras termasuk pada kawasan Gang Doli dan kawasan Kramat Tunggak, termasuk hotel hotel praktek mesum terjadi, toh akhirnya tak apa.


 Asalkan disiapkan jalan keluarnya untuk mereka yang sudah terlanjur masuk ke dunia itu untuk ganti profesi yang beretika. (*)

0 Comments