Penulis: Yuhendra
“Dari sini, Maek masih
jauh. Ada sekitar satu jam. Tapi jalan ke sana buruk, dan curam. Hati-hati
saja. Kalau nanti ada yang suruh berhenti, sebaiknya berhenti karena bisa saja
rem blong,” jelas seorang warga ketika saya menanyakan lokasi situs cagar
budaya Menhir, Maek di Simpang Limbanang.
Penjelasan warga tersebut
membuat saya sedikit ragu untuk meneruskan perjalanan menuju Maek. Setelah satu
setengah jam perjalanan dari Bukittinggi bakda Subuh, membayangkan perjalanan
tambahan satu jam lagi dengan bayangan kondisi medan yang buruk dan belum
pernah saya tempuh sebelumnya membuat saya kurang bersemangat. Namun karena
dorongan anak-anak yang ikut serta untuk terus lanjut, saya akhirnya memutuskan
tetap mengarahkan stir mobil ke Maek.
Anak-anak adalah salah
satu alasan saya ingin berwisata melihat situs cagar budaya Menhir di Maek.
Saya samar-samar ingat, dulu ketika di sekolah menengah pertama, tentang
Menhir, jejak peninggalan zaman Megalitikum pernah sedikit dijelaskan.
Sekarang, Ketika anak-anak ditanya apa yang mereka ketahui tentang Menhir,
mereka menjawab, “batu besar buatan Obelix, warga Galia yang ada di komik
Asterix.” Anak bungsu saya malah mengira Menhir adalah “rambut pria” karena
yang dia dengar seperti bunyi “man hair”. Sangat miris, karena di Sumatra Barat
sendiri, ada ratusan atau mungkin ribuan Menhir, namun seolah masih menjadi
misteri dan tidak banyak yang mengetahui.
![]() |
Keberadaan batu-batu zaman Megalit ini sayangnya tidak disertai berbagai informasi untuk pengunjung terutama anak-anak yang tidak paham dengan Menhir.Yukendra |
Untuk menyegarkan kembali
ingatan saya dan menambah pengetahuan anak-anak tentang Menhir kami berangkat menuju
Maek, Kabupaten Lima Puluh Kota. Menurut perkiraan peta Google, jarak tempuh
dari Bukittinggi ke Maek sekitar 67 km, dengan memakan waktu perjalanan sekitar
dua setengah jam. Perjalanan dari awal hingga Limbanang cukup lancar dengan
kondisi jalan relatif mulus. Namun kondisi itu mulai berubah sejak memasuki
Simpang Limbanang, sejak peringatan tentang kondisi jalan ke Maek disebutkan
warga sebelumnya.
Buruknya akses jalan dari
Limbanang akan sedikit mengganggu mood orang-orang yang akan berwisata
ke Maek. Kondisi makin tidak bagus begitu memasuki Jorong Guntuang. Ada lobang-lobang
besar di setiap tiga atau lima meter badan jalan yang tidak begitu lebar, sehingga
menyulitkan pengendara ketika dua mobil berpapasan. Usai melewati Guntuang yang
banyak lobang, pengendara akan dihadapkan pada tantangan jalan menurun tajam dan
berliku. Untuk memperingati wisatawan dan mereka yang baru berkunjung ke Maek spanduk-spanduk
peringatan “Hati-hati rem blong!” sengaja dipasang di setiap tikungan.
Rasa deg-degan mulai
hilang begitu memasuki kampung Maek. Siluet jejeran Bukit Barisan berbentuk
unik yang seolah menghampar di ujung jalan kembali memompa semangat untuk tetap
meneruskan perjalanan. Tidak berapa jauh dari turunan yang berbelok-belok
sebelumnya, sampailah di kampung Balai Batu, letak salah satu situs cagar
budaya Menhir di Maek selain situs Bawah Parit, Koto Tingggi dan Ronah.
Menhir dan Maek
Menhir dan Maek sangat
erat kaitannya. Menyebut Menhir, akan ikut menyebut Nagari Maek. Demikian juga
halnya dengan menyebut Maek, maka asosiasi orang akan tertuju pada Menhir. Dalam
buku-buku Pelajaran Sejarah, Maek disebut-sebut sebagai salah satu lokasi
bersejarah dimulainya peradaban manusia yang ditandai dengan adanya batu-batu
Menhir. Jika kita mencari berita dan ulasan tentang Menhir di Google, maka
nagari Maek akan ikut ditampilkan. Demikian pula halnya, mengetikan kata nagari
Maek, ulasan tentang Menhir sebagai salah satu asetnya juga ikut tersertakan.
Sebelum iven Festival Maek
2024, tidak banyak ulasan dan pemberitaan tentang Menhir dan Maek sejak lima
tahun terakhir. Demikian pula halnya mencari tulisan ilmiah hasil penelitian tentang
Menhir dan Maek di berbagai jurnal. Hasilnya juga tidak begitu menggembirakan
untuk dijadikan referensi baru tentang peradaban Megalitikum Maek. Bahkan situs
Disparpora Kabupaten Lima Puluh Kota tidak memberikan informasi memuaskan
tentang Menhir Maek.
Megalitt / menhir Balai
Batu Koto Gadang Nagari Maek Kecanatan Bukit Barisan Kabupaten Lima Puluh Kota
Provinsi Sumbar. Jarak tempuh dari ibukota Sarilamak lebih kurang 55 km. Maek
dikenal juga dengan sebutan 1000 menhir, yang ke semua menhir menghadap ke
gunung sago. Adapun menhir Maek ini sudah berumur 2000 - 6000 tahun SM. Menhir
Maek ini adalah salah satu wisata budaya Kabupaten Lima Puluh Kota. Demikian isi kutipan lengkap dari disparpora.limapuluhkotakab.go.id
yang diposting 14 Juni 2021 silam. Ya…sejauh ini, Maek dan Menhirnya
seolah masih terselubung misteri.
Pun memasuki area situs
Menhir, tidak ada papan-papan informasi yang disampaikan bagi pengunjung. Jadinya, bagi mata awam situs tersebut hanya tempat
kumpulan batu-batu besar setengah terkubur saja. Wisatawan hanya datang
melihat, foto-foto, duduk sebentar di pondok yang sengaja didirikan untuk
wisatawan, lalu pergi. Atas saran salah seorang warga, untuk mendapatkan
pencerahan tentang Menhir, saya dan anak-anak disarankan bertanya kepada penjaga
situs di rumahnya, yang tidak jauh dari Lokasi cagar budaya Balai Batu.
Informasi tentang Menhir
dan Maek dari warga biasa tidak akan memuaskan. Menurut Haris, salah seorang anak
nagari Balai Batu, tidak banyak warga yang paham tentang Menhir. Pelajaran di
sekolah pun tidak membekali siswa mengetahui tentang bebatuan bersejarah yang
ada di kampung halaman mereka. Meski ada peneliti dari dalam dan luar negeri
melakukan kajian di kampung mereka, hasilnya tidak sampai kepada warga. “Hasil
penelitian tidak pernah disosialisasikan kepada kami, anak-anak nagari. Makanya
cerita tentang Menhir di Maek ini pun tidak banyak yang paham,” ujarnya.
Anak-anak dan saya
beruntung bisa bertemu Zulpenedri, Koordinator Jupel (Juru Pelihara), BPK
(Balai Pelestarian Kebudayaan) Wilayah III Sumbar, yang berdomisili dan menjaga
situs Menhir di Balai Batu. Darinya kami bisa mendapat sedikit banyak informasi
tentang Menhir. Sependapat dengan Haris, pengajaran dan penyebaran informasi
kepada warga masih sebatas cerita turun temurun. Sedangkan di sekolah, kalaupun
ada pelajaran tentang Menhir di Maek, masih kulit-kulitnya saja. Sama halnya
dengan penelitian terkait Menhir di Maek yang menurutnya baru delapan persen
saja. Artinya masih banyak sisi-sisi mendalam lainnya entah itu sejarah, motif,
kegunaan, kebudayaan dan lainnya yang belum diteliti. “Penelitian-penelitian
yang sudah ada, itu masih baru kulit-kulitnya saja, menurut para peneliti
demikian pula halnya saya, banyak hal lain yang perlu digali dari Menhir yang
ada di Maek ini,” ujarnya.
Lebih lanjut Zulpenedri
menjelaskan, salah satu contoh masih panjangnya jalan penelitian tentang Menhir
di Maek adalah arah batu-batu tersebut yang tertib. “Ada yang menyebut ke ke
Gunuang Sago, ada pula yang menyebut ke arah matahari terbit, keduanya dengan
penafsiran dan alasan berbeda-beda. Namun tidak ada pendapat yang bisa disalahkan.
Dan itu perlu penelitian yang lebih lanjut,” jelasnya.
![]() |
Gerbang Situs Cagar Budaya Menhir yang Balai Batu, Nagari Maek, Kabupaten Lima Puluh Kota. Yuhendra |
Agar Tak Terlupakan
Menhir bukan satu-satunya
aset yang bisa dijadikan jualan untuk menjadikan Maek sebagai destinasi wisata.
Pemandangan alam Maek beserta perbukitannya sendiri tidak kalah indah dibanding
tetangganya Harau, yang lebih dulu populer sebagai area tujuan wisata di
Kabupaten Lima Puluh Kota. Belum lagi, komoditas lokal entah itu makanan atau
kesenian yang bisa ikut dijadikan sebagai daya tarik pengunjung.
“Maek juga punya kesenian tradisional yang
rancak, baik tarian maupun musik. Demikian juga di bidang kuliner, pongek ikan
Maek sangat khas dibanding pongek dari daerah lain,” ucap Haris.
Ia menambahkan, semua
rahasia yang menyelubungi Maek adalah potensi yang layak dijual. Bahkan arti
nama Maek sendiri masih misteri bagi warga apalagi orang di luar sana. “Ada
yang mengatakan Maek ini diambil dari kata memahat, ada juga yang menyebut Maek
adalah sejenis ikan Maweh. Tidak ada yang tahu persis,” jelas Haris.
Ketua DPRD Provinsi
Sumatera Barat (Sumbar) Supardi, SH melihat prospek Maek sebagai daerah tujuan
wisata sangat besar. Pada lembar buku hasil residensi Festival Maek 2024 dia
menjelaskan dua tahun lalu ketika diajak Dinas Pariwisata Kabupaten Limapuluh
Kota untuk membahas rencana peningkatan Aura Harau, perhatiannya justru lebih
tertarik pada sebuah proposal tentang Maek. Keinginan untuk memajukan Maek
itupun disambut Masyarakat dan perantau. Perhatian itupun menghasilkan Festival
Maek 2024, yang mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat dalam dan luar
negri.
Mengutip laman langgam.id
akhir tahun lalu, Supardi menekankan, "Ada pergulatan pemikiran sejuta
misteri yang mesti kita bongkar, sebagai kekayaan bernilai Sumatera Barat yang
jika dikelola dengan baik akan dapat memberikan kebaikan dalam kemajuan
pembangunan dan kesejahteraan bagi masyarakat Sumbar."
Gayung bersambut, geliat
itu juga sudah dirasakan. Masyarakat berharap Maek ke depan benar-benar akan
menjadi sentra wisata. Roby, salah satu anak nagari Maek, merasa optimis Maek
akan menjadi tempat tujuan wisata favorit baru di waktu dekat. “Melihat
suksesnya pelaksanaan Festival Maek 2024 kemarin serta adanya wacana akan
dibangun museum yang berkaitan dengan Menhir di Maek, bisa jadi orang akan
berbondong-bondong kemari walau jalan menuju Maek tidaklah mulus. Justru itu
bagian dari hal yang tak terlupakan, “tuturnya sambil berkelakar.
Senanda dengan itu,
Zulpendri sebagai pemelihara situs purbakala mengatakan beberapa rencana ke
depan agar Maek bisa dinikmati sebagai tempat wisata edukasi. “Kita merencakan
akan membuat paket-paket wisata yang berkaitan dengan Menhir, sesuai dengan
kebutuhan dan minat wisatawan. Untuk tahap awal rencana ini akan ditargetkan ke
sekolah-sekolah. Selain itu akan dihidupkan kegiatan-kegiatan permainan
anak-anak tempo dulu,” jelasnya.
Harapan menjadikan Maek
sebagai destinasi wisata yang tidak “pilih kasih” tentu menjadi harapan semua
orang. Artinya, Maek bisa mamikek alias menarik siapa saja untuk
berkunjung dan menikmati segala aspek wisata, bukan hanya kalangan peneliti dan
sejarawan. Sangat sia-sia semua potensi Maek jika fokus hanya pada soal Menhir
semata.
Dalam hal ini Pemerintahan
Kabupaten Lima Puluh Kota dan Provinsi Sumatra Barat masih memiliki pekerjaan
rumah yang banyak untuk mengembangkan Nagari Maek. Sarana dan prasarana
terutama perbaikan akses jalan menuju Maek mau tidak mau harus diprioritaskan.
Jangan sampai promosi mulut ke mulut tentang jalan buruk mematahkan semangat
wisatawan untuk datang. Demikian pula halnya dengan fasilitas-fasilitas
penunjang bagi mereka yang ingin berlama-lama di Maek.
Edukasi dini tentang
sejarah budaya lokal Maek juga perlu dipertimbangkan untuk dijadikan
pembelajaran muatan lokal. Ini sebagai salah satu upaya menciptakan warga yang sadar
wisata. Mereka bisa menjadi duta wisata Maek bagi setiap pengunjung yang ingin
tahu tentang Maek dan isinya.
Dengan rahasia
peradabannya yang belum terungkap, saya membayangkan Maek bisa seperti
destinasi wisata kelas dunia Stonhenge di Inggris. Sehingga siapapun nantinya
yang bertandang dari jauh akan senang dan berkata “worth it,” saat
mereka pulang. Kalaupun pulang ada kerinduan untuk kembali datang.
0 Comments