Bulan-Bulanan Orang
Si Galimbing sudah bukan orang yang biasa lagi, dia sudah menjabat sekarang, bukan jadi kuli bangunan atau tukang sapu halaman orang. Dia sudah menjadi orang nomor tiga setelah wakil ketua dari organisasi kemasyarakatan di kelurahan tersebut. Hebat bukan. Tentu saja.
Sudah seperti durian runtuh saja. Dia sekarang sudah sejajar duduk di kursi depan bersama pak camat dan pak lurah, serta anggota DPRD kota. Kalau dahulu hanya sebatas tukang sapu, duduknya pun di bagian tengah para pemuda, dengan pakaian seadanya. Kalau sekarang jangan ditanya lagi, kemeja kotak-kotak bergaris selalu rapi di kenakannya. Betul-betul sudah seperti pejabat.
Sekarang orang-orang tak lagi meremehkannya. Kalau ada yang ingin berurusan soal administrasi pemberdayaan masyarakat, harus konfirmasi dahulu ke dia, biar nanti pria berkumis itu yang sampaikan kepada ketua, birokrasinya memang begitu. "kamu lapor ke saya dulu, baru ke ketua, saya ini juga pejabat di sini,"ujar Galimbing kepada seorang warga yang sedari tadi sudah menunggu.
Tak disangka, jabatan itu membuat Galimbing lepas hati. Ia mulai congkak, karena berbangga-bangga, kepada orang sekitar, sampai-sampai tetangga pun muak kepadanya. Dia ingin orang-orang hormat kepadanya. Orang-orang harus mengakuinya, karena dia bukan kuli lagi.
Sudah berubah dia, rupanya, sifatnya yang dahulu ramah, sekarang kalau jalan dagunya naik ke atas. Dahulu dia yang duluan menyapa, sekarang tak lagi, harus dia yang disapa duluan. Galimbing merasa dia sudah hebat sekarang, makanya apa-apa harus dia yang muncul. Berbisik-bisiklah tetangga. "Galimbing itu sudah berubah sekarang, sudah berasa pintar, padahal menulis ejaan saja sering salah,"sahut Darmin salah satu kawan lama Galimbing.
"Dia tak lagi berkumpul dengan kita, sok sok an betul gayanya. Untung-untung berilmu, kalau pun sombong bisa saja orang maklum, ini tidak, sudahlah ilmu kurang, tapi lagaknya, "sambung Hasdi musuh bebuyutannya sejak muda.
Itulah Galimbing, bukannya menjadi sahabat ketika menjabat, malah dibenci masyarakat gara-gara ulah sombongnya. Orang memang sudah maklum, sebab Galimbing kan baru kali pertama menjabat, tak pernah-pernah ia diatur soal tatakrama, makanya demikian. Berasa sudah berjaya.
Kendatinya, entah muasabab apa, si Galimbing bisa menjabat. Apa karena nasibnya? Peristiwa ini sudah seperti orang bermain lotre saja, tanpa aba-aba bisa menang. Tak usahlah banyak berdebat, si Galimbing tetap saja terpilih, karena tak ada lagi yang bersedia. Dia malah langsung setuju saat ditunjuk. Maklum saja, tak konon-kononnya dia mendapat pangkat demikian. Minimal posisinya sudah berubah, bukan kuli lagi. Kalau ditanya orang kerjanya apa, dia bolehlah berbangga.
Setiap minggunya, pria 32 tahun tersebut selalu sibuk dengan kegiatan. Kegiatan apa saja yang berkaitan dengan organisasinya dan kelurahan. Mau kegiatan besar ataupun kecil. Sibuknya bukan kepalang, sudah seperti dia saja yang menjadi ketua.
Sewaktu-waktu ada organisasi kepemudaan kelurahan yang buat surat undangan, pintanya harus dia periksa dulu, harus dia yang musti edit dulu. Untung-untung hasilnya bagus, rupanya malah sebaliknya. Tentu saja anggota kelompok itu murka. Itu kan bukan bidangnya, kenapa ikut mengurus, bukannya berjalan dengan baik malah kacau.
"Saya kan sudah buat sesuai ejaan dan aturan. Ini kan bidang saya, jadi saya paham betul isi dan modelnya, "ujar Haris, sekretaris dari organisasi kepemudaan.
"Iya, saya paham, tapi ini kan acara di bawah kepemimpinan saya, jadi harus saya lihat dulu isinya. Nanti saya saja yang print kan, pokoknya ini biar saya selesaikan, "ujar Galimbing dengan angkuhnya.
Tak disangka, setelah undangan itu selesai di print, jelas sudah tak karuan, isi surat tak beraturan, nama ketua kepemudaan pun salah. Sontak saja Arnedi selaku ketua pemuda marah besar. Ujung-ujungnya yang disalahkan si Haris selaku sekretaris.
Bukan itu saja, kekacauan lain pun juga silih berganti, tapi yang namanya Galimbing tak pernah ambil hati. Apakah orang bilang dia sok tahu, baginya bodo amat. Yang jelas lima tahun lamanya dia menjabat, sekiranya tak kan ada yang menggantikan.
Masyarakat sekitar hanya bisa mengurut dada melihat tingkah laku si Galimbing. Lucunya pihak dari organisasi itupun mengaminkan saja, tanpa menegur. Sudah bertele-tele saja jadinya.
Galimbing baru menjabat tingkat kelompok belum tingkat kecamatan, tapi tingkahnya sudah seperti dia jadi walikota saja. Serba tahu semua. Terkadang kalau dia lewat di depan kedai kopi Rasinas, tempat ia biasa mengutang dan bercerita bersama kawan, selalu saja dipanggil orang kedai.
"Galimbing, kau tak mau lagi bergabung bersama kami. Sinilah dulu, minum kopi, pagi-pagi sudah sibuk saja. Sudah seperti pak mentari* saja, "sahut Asrin, suami Rasinas.
" Pak Menteri maksud bapak?, "balas Hasdian sambil bersorak.
" Bukan pak menteri, tapi mentari*, "guyon Asrin.
Semua orang di kedai itupun tertawa lepas. Hal itu membuat Galimbing sakit hati. Tapi ia tak menggubris apapun, pria berkacamata itu, hanya tersenyum penuh bangga, karena ia menganggap , orang-orang disekitar hanya iri kepadanya, disebabkan tak bisa seperti dirinya. Pokoknya dia sudah bukan kuli lagi. Sampai akhir jabatannya pun, ia tak pernah lagi menyapa kawan-kawan kedainya apalagi bergaul. Padahal itu adalah kawan buruh dan kuli yang dahulu jadi konco Palangkinnya.*
*mentari dalam bahasa Minang merupakan petugas yang bisa mengobati hewan
Oleh: Intan Suryani
1. Pernah terbit di halaman Cerpen Padang Ekspres
2. Peringkat 47 Lomba Cerpen Nasional 2021 diselenggarakan oleh Fun Bahasa
0 Comments