UPIAK PARLENTE (Cerpen)

Ilustrasi
Rasih memang bukan perempuan serba bersih, bukan juga perempuan serba higienis, dia hanya perempuan biasa pada umumnya, tapi kalau soal mencari tempat makan, dia memang suka pilih-pilih, karena muasabab itulah kawan-kawannya memberikan gelar Upiak Parlente (banyak gaya). Gelar itu sudah jadi semboyan pada dirinya sejak beberapa tahun belakangan ini. Ia sering jadi bulan-bulanan keluarga dan kawannya sebagai manusia banyak gaya untuk soal mencari tempat makan.

Orang-orang yang dekat dengannya cukup kesulitan kalau sudah berurusan soal tetek bengek makan memakan. Bagaimana tidak, kalau diajak ke rumah makan pasti banyak tanya, apakah tempatnya bersih? Apa di sana makanannya higenis? Selalu saja demikian, terkadang kondisi itu membuat kawan-kawan, bahkan saudaranya jadi kesal, alih-alih akan diajak, palingan jika ada perkumpulan berbuka bersama, Rasih tak pernah diikutsertakan lagi. Kondisi itu seringkali membuat dia sering dijauhi. Namun Rasih tetap saja dengan prinsipnya, tak ingin makan disembarangan tempat.

Sebagai mahasiswa sains, tentu dia paham betul dampak dari ketidakbersihan suatu tempat, apalagi dia yang notabennya sering melakukan penelitian dengan bakteri, bahkan mempelajari seluk beluk virus dan penularannya. Ditambah lagi pengalaman pribadinya yang membuat dia mesti hati-hati dalam memilih tempat makan. 

Ia masih teringat kala itu, saat makan di warung nasi, ketika akan minum, terlihat ada keganjilan pada gelas yang disajikan, air di dalam gelas itu sudah setengah, kemudian terdapat bercak pada ujung bibir gelas, sontak saja ia kaget, bagaimana bisa dia diberi gelas bekas minum orang lain. Bukan itu saja, pernah juga ketika perempuan berjilbab hitam ini, ingin mengambil tusuk gigi, untung saja ia memperhatikan secara detail bagian ujung lidi tersebut, ternyata ada bekas putih yang tertancap pada tusuk gigi itu. 

"Bagaimana bisa tusuk gigi bekas di taruh lagi di tempatnya," bisik hatinya. Masih banyak lagi kejadian yang ia alami, Notabennya dia sudah bercerita tentang pengalamannya itu kepada keluarga dan temannya, namun tak ada yang ingin memahaminya. Tetap saja dia digelar Upiak Parlente. 

Persoalan jodoh jangan ditanya lagi, sudah berapa pria datang bertandang hendak melamarnya, pria yang dari luar kota, yang satu desa, bahkan seumuran dan satu sekolahpun sudah pula pernah mencoba. Tapi ditolak. Lalu seperti apa pria yang hendak dia cari. Inginnya yang tampan, pria yang waktu itu datang sudah pasti tampan, tapi tetap juga ditolak, ingin yang sukses, jangan ditanya lagi, yang dari luar kota itu pengusaha muda punya banyak cabang toko, juga ditolak, lalu yang bagaimana lagi? Ooh, nak ingin pula dia pria yang saleh, soleh yang sebenar-benarnya soleh, bukan saleh menurut standar orang-orang, tapi menurut agama, itu harapannya. Sebab katanya lebih penting menyehatkan mental dan jiwa dari pada sebatas fisik dan harta. 

Luar biasa si Upiak Parlente ini, soal pemikiran tak perlu ditanya lagi. Berbekal ilmu dan pengalaman yang ia pelajari, tak mungkin dia salah untuk mencari atau menolak. Sudah pasti apa yang dia tolak dan pilih adalah yang terbaik. Hanya saja, kalaulah Upiak Parlente hendak mencari yang agamanya betul-betul bagus, akhlaknya betul-betul baik, tentulah dia harus berbenah dahulu. Selaku orang yang hendak memilih, apakah sudah pantas atau memantaskan diri? Bukan menurut dia, tapi menurut agama. Nyatanya saja, 

Upiak Parlente salat masih sering terlambat, terkadang kalau sudah pergi ke kondangan, dengan make up yang rapi, lalu mendengar adzan berkumandang, malah memilih untuk tidak langsung berwudhu, Upiak takut kalau riasan wajahnya luntur, lebih baik menunda salat kalau sudah sampai di rumah saja. Untung-untung sampai rumah waktu masih ada, kalau sudah habis, ya, tertinggal. Tentulah Upiak Parlente harus berfikir ke sana, perkara mendapatkan jodoh yang saleh, sudah pantas atau belum? Kalau anggapan Upiak Parlente suaminya yang nanti akan merubahnya, berarti Upiak Parlente berubah untuk mendapatkan orang lain, sudah salah niat rupanya. 

Cobalah dahulu Upiak pikirkan matang-matang, jangan sampai kecewa diakhir kisah, sebab Upiak sudah mulai bertambah usia. Apa tak lihat teman sebaya sudah beranak dua. Jadi, kalaupun betul Upiak ingin dapatkan yang saleh, bersihkan dahulu niat dan tujuan. Jangan sebab Upiak ingin bersuami saleh, pura-pura berubah agar keinginan Upiak terkabul, itu namanya akal-akalan Upiak. Sudah jelas tujuan menikah ibadah kepada Tuhan. 

Kenapa Upiak ingin dan berharap pria saleh, harusnya Upiak berfikir, sudah berapa banyak dosa dan kelalaian ibadah yang Upiak lakukan, soal jodoh nanti datang sendiri kalau Upiak sudah memperbaiki niat dan tujuan hidup. Ingat upiak, jangan terlalu sibuk perkara pria saleh, sampai lupa merubah diri jadi lebih baik. (***)

Oleh: Intan Suryani

0 Comments