Dengki


Oleh   K.Suheimi 


Hari ini selasa 13 September 1994 saya mengadiri acara Dies Natalis Unand. Dies ini dilaksanakan di Gedung Aula baru di Limau Manis. 


Gedung yang besar ditengah-tengah kampus Unand  terkesan mewah, megah, dan mewah. Saya sebagai dosen biasa duduk ditengah-tengah gedung yang besar itu. Dan sebagaimana setiap acara Dies, Rektor dan anggota senat memasuki ruangan disaat tamu sudah hadir dan duduk ditempat. Tiba-tiba ada pengumuman “Rektor dan anggota Senat akan memasuki ruangan, para hadirin diminta berdiri”. 


Saya berdiri dan melihat rektor diiringi pembantu rektor, dekan-dekan dan Guru besar di selingkup Unand. Semuanya memakai pakaian kebesaran, pakai toga dan selempang digayutkan didada. Selempang terdiri dari logam bagaikan kalung emas. Waktu masuk demikian dan ketika keluar meninggalkan ruangan pun kami harus berdiri menghormati rektor dengan anggota senat.


Saya perhatikan satu persatu anggota senat  itu. Ada diantara mereka yang duduk diatas pentas yang saya kenal. Bukan hanya itu bahkan dulu dia adik kelas saya. Dulu dia sering saya pagarahkan. Kalau berdiskusi saya sering mematahkan argumennya, sehingga saya seakan berada di atas angin. Tapi kini dia telah berhasil dia sudah jadi anggota senat, seseorang yang dalam statusnya lebih tinggi dan dihormati. Tempat duduknya diatas pentas, bajunya adalah baju kebesaran dan baju kebanggaan almamater. 


Sedangkan saya hanya sebagai dosen biasa dan harus berdiri karena dia akan lewat. Entah kenapa dihati saya terbesit rasa iri. Dia yang dulu yang tak ada apa-apanya, sekarang justru berada di atas. Payah saya menyimpan rasa iri.


Rasa iri ini kembali bergejolak sewaktu sarjana terbaik Unand diumumkan dan dosen terbaik itu sudah kembali dari Jakarta sudah bersalaman  dengan presiden dan ikut acara 17 Agustus bersama putra-putra terbaik negeri ini. Namnya Abdi Dharma dan Abdi Dharma pada kesempatan itu membacakan pidato ilmiah. 


Entah apalah sebabnya saya iri sewaktu menyaksikan dia dengan lancar dan penuh percaya diri dihadapan ribuan orang dan dihadapan rektor dan senat di dalam pertemuan yang bergengsi dan terhormat ini, dengan lancar membacakan makalah ilmiah. Dihati saya ada rasa cemburu dan iri. Disamping rasa bangga bahwa teman saya menjadi orang hebat.


Semua kejadian di kampus itu saya renungkan dan saya lamunkan dirumah. Melihat saya termenung dan melamun, lalu saya dikejutkan oleh isteri, “Apa yang dilamunkan?”, kata istri saya. Lalu sejujurnya saya katakan bahwa saya iri melihat keberhasilan orang lain. Padahal orang-orang yang berhasil itu jauh lebih muda dan jauh di bawah saya.


Untunglah istri saya penuh pengertian dan menenangkan hati yang risau ini dengan bekata, “Mungkin orang lain pun ada pula yang iri melihat keberhasilan dan apa yang telah kita capai, kalau melihat keatas nanti mata akan kalimpanan, coba pulalah lihat kebawah, banyak orang lain yang tidak berhasil”.


Lalu saya terpana, benar kata istri saya, di sekeliling saya banyak rupanya orang yang tak berhasil menggondol cita-cita dan banyak yang lebih menderita. Saya tersentak dan menghitung-hitung. Di bidang lain pun ada keberhasilan-keberhasilan yang saya peroleh. Lalu saya sadar, mengapa saya kurang bersyukur. Padahal nikmat yang telah saya peroleh sudah sangat banyak, tapi masih memikirkan dan merisaukan apa yang belum bisa dicapai dan diraih.


Rasa iri yang bertengger di hati ini saya coba analisa dan saya lihat catatan mengenai iri, dengki dan hasad dan saya coba pelajari kenapa iri, dari mana datangnya hasad dan kenapa ini terjadi. Para pembaca, inilah cacatan yang saya salin sewaktu mendengar ceramah guru saya.


Hasad berarti berbuat dengki, pelakunya disebut hasid yaitu orang yang pendengki. Lalu kata guru saya dengki ini termasuk tataran penyakit mental. Stadium pertama dari penyakit mental ini disebut dengan iri hati, yaitu tak senang melihat orang lain mendapat kenikmatan, hatinya berbulu, kalau tak segera disembuhkan maka penyakit ini meningkat dan naik jadi hasad, yaitu iri hari plus ia ingin agar kesenangan orang itu lenyap dari orang itu.


Pada taraf ini Syetan sudah bersarang dan bertahta dalam lubuk jiwanya. Dan berharap dan berupaya supaya kesenangan yang dirasakan orang lain itu hilang pada orang itu dan kesenangan itu berpindah padanya. Stadium ketiga kata guru saya adalah dendam. Yaitu dengki plus dimana timbul keinginan menyakiti orang itu. Yang ketiga ialah takabur, sifat merasa dirinya besar. Yang lain kecil. Orang lain kecil remeh. Yang hebat, yang cakap dan yang berarti hanya aku.


Orang menjadi pendengki karena dia hanya tahu fenomena karena tak sanggup mencari hakekat. Ia hanya tahu kulit, tapi tak tahu isi. Dia mengerti kuantitas tapi tak tahu kualitas. Orang yang tak tahu hakikat ini gampang iri dengki dan dendam. Karena tak dapat membedakan kuantitas dan kualitas. Dia mengalami proses pendangkalan iman, erosi iman.


Lalu kata istri saya berpesan; jadikanlah dia yang didengki itu sebagai kompetitor, janganlah dijadikan sebagai rivalitas. Kompetitor, kita berkompetisi. Kompetitor kita butuhkan bagaikan sparing partner yang akan memacu dan akan membuat kita bertambah kuat karena kita berusaha dan berlomba-lomba dalam mencapai dan mengejar kebaikkan. Sedangkan rivalitas, kita berusaha menjatuhkannya, dan kalau perlu kebahagian kita diletakkan diatas bangkai kehancuran lawan. 


Berarti harus ada yang kalah dan yang menang, harus ada yang hidup dan yang mati. Tapi dalam kompetisi, lawan hidup kuat dan kita pun berusaha agar bisa lebih kuat. Yang satu hidup dan yang lain juga hidup, sama-sama berusaha dan sama bekerja serta sama-sama meningkatkan kualitas hidup.


Saya bayangkan teman yang saya iri, dan saya bayangkan Abdi  Dharma yang dulu kurus. Lalu saya niatkan dalam hati saya akan berusaha dan saya akan meniru dan mencontoh keuletannya. Dia berhasil adalah berkat kerja dan usahanya. Cara-cara dan langkah-langkahnya jadi cermin dan pedoman dalam saya melangkahkan kaki. Untuk itu semua saya teringat sebuah Firman suci-Nya dalam Al-Quran surat Al-Falaq ayat 5: “Aku berlindung dari kejahatan orang yang dengki apabila dia dengki”.

0 Comments