Menangkap Covid-19 di "Bibir Pantai"

Emeraldy Chatra, Dosen Ilmu Komunikasi Unand Padang

Emeraldy Chatra
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas Padang

Nelayan-nelayan kecil hanya mampu menangkap ikan di pinggir pantai. Mereka tak punya peralatan dan juga keterampilan untuk menangkap ikan jauh ke tengah laut. Hasilnya tentu hanya ikan-ikan kecil.

Sementara di tengah laut ada jutaan ikan besar berenang bebas. Di antaranya ada yang ganas, yang dapat menghancurkan kapal dengan serangan mendadak. Ikan-ikan seperti itu hanya dapat ditangkap dengan alat dan metode yang canggih, yang diterapkan oleh orang yang berketerampilan canggih pula.

Tulisan ini tidak bermaksud bercerita tentang ikan-ikan di laut. Ikan-ikan itu hanya perumpamaan. Maksud sebenarnya Covid-19.

Menangkap ikan di tepi pantai adalah perumpamaan untuk ‘menangkap’ orang terpapar Covid-19 di tempat-tempat tertentu. Seperti di bandara, di pos-pos pemeriksaan di perbatasan provinsi, atau di klinik-klinik.  Tempat itu ibarat pinggir pantai saja.

Sementara orang-orang yang terpapar Covid-19 yang lebih banyak jumlahnya justru tidak di tempat itu. Tapi di tengah-tengah masyarakat. Mereka tidak terlihat, tak terpantau karena kadang tanpa gejala. Mereka disebut OTG. Orang Tanpa Gejala.

Sama dengan ikan ganas yang menyerang tiba-tiba, para OTG ini mendadak dapat menghasilkan klaster-klaster baru. Tiba-tiba ia muncul di kantor besar dengan paparan puluhan orang. Tak ada yang tahu sebelumnya.

Dengan perumpamaan-perumpamaan itu, saya jadi meragukan efektivitas model ‘menangkap ikan di pinggir pantai’ untuk menuntaskan pandemi Covid-19. Kita harusnya menggunakan model ‘menangkap ikan di tengah laut’. Supaya orang-orang terpapar yang sangat berpotensi membuat klaster-klaster baru dapat ‘ditangkap’.

Bagaimana caranya?

IMHO sebenarnya langkah awal mengoptimalisasi sumber daya sosial-budaya sudah on the right track. Sudah pas. Elite masyarakat di akar rumput dilibatkan, kearifan lokal direvitalisasi, dsb.

Tapi entah mengapa kemudian langkah ini terhenti begitu saja. Pemerintah daerah lebih suka membuat perda yang justru berpotensi menciptakan ketegangan antara aparat dengan masyarakat.

Dengan model ‘menangkap ikan di laut’ situasi tegang ini kontraproduktif. Seharusnya yang dilakukan upaya penjinakan, yang mendorong orang dengan kesadarannya sendiri agar diperiksa. Seperti ikan yang harus dikondisikan mendekati jaring.

Kalau ketegangan yang dibangun, alih-alih mau diperiksa, orang malah akan resisten. Mereka akan menghindari semua bentuk pemeriksaan dengan segala upaya.

Resistensi adalah momok utama dalam model ‘menangkap ikan di laut’. Bermacam-macam alasan timbulnya resistensi yang musti dipahami pemerintah dan gugus tugas. Ada yang keras, berupa permusuhan (hostility). Ada yang agak lunak, berupa prasangka (prejudice), ada juga yang lebih lunak lagi berupa ketidakpedulian (ignorance dan apathy).

Semua bentuk resistensi hanya dapat diatasi dengan komunikasi yang baik. Tapi komunikasi yang baik bukan sekedar cuap-cuap, pidato-pidato, asal publikasi data, atau asal sebar poster, flyer dll. Ia harus dirancang sedemikian rupa, dengan strategi dan taktik. Komunikasi pun harus diwadahi secara benar dengan jaringan komunikasi.

Pendeknya, komunikasi yang pakai ilmu. Bukan pakai rasa-rasa.