Angka Perkawinan Anak Perempuan di Sumbar Lebih Tinggi dari Anak Laki-laki, Begini Faktanya

 


PADANG-Angka perkawinan anak perempuan di Sumbar jauh lebih tinggi dibanding anak laki-laki. Data Susenas 2021, angka perkawinan anak perempuan  (24,29 persen),  lebih banyak   dibanding  perkawinan anak laki-laki (4,25 persen).

Data di atas menunjukkan angka perkawinan anak perempuan enam kali lipat dibanding perkawinan anak laki-laki. 

Berdasarkan daerah tempat tinggal, perkawinan anak perempuan lebih banyak di perdesaan (31,47) dibanding  perkotaan, (16,74). Atau hampir dua kali lipat. 

Kepala Dinas  Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Sumbar, Gemala Ranti, menyebut ada beberapa faktor pemicu tingginya perkawinan  anak  perempuan di pedesaan. Yaitu faktor pendidikan yang rendah dan stigma pada perempuan, ptahuan rendah (tidak memiliki pengetahuan terhadap dampak perkawinan usia anak dan rendahnya pemahaman tentang kesehatan reproduksi yang menyebabkan anak tidak memiliki pilihan. Lemahnya pemahaman terhadap nilai –nilai agama, faktor kepedulian lingkungan, keluarga dan masyarakat.

Berdasarkan data susenas 2021, Sumbar memiliki angka perkawinan anak perempuan yang usia perkawinan pertama di bawah 19 tahun sebesar  24,49 persen. Persentase ini menjelaskan 5 dari 100 anak perempuan di provinsi ini melakukan perkawinan pertama di bawah 19 tahun. Padahal dalam UU No 16 Tahun 2019 usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun baik untuk perempuan maupun laki –laki.

"Terdapat hubungan yang kompleks antara perkawinan usia anak dengan pendidikan. Anak yang menikah dibawah umur cendrung memiliki tingkat pendidikan rendah," terang Gemala Ranti.

Kabupaten  tertinggi angka perkawinan anak adalah Dharmasraya (35,71) dan yang terendah Kabupaten Solok (2,97) .

Disebutkan Gemala, untuk menciptakan sistem perlindungan anak yang holistik guna menghapuskan perkawinan anak (usia dini), dibutuhkan adanya pelibatan dari anak, remaja dan kaum muda itu sendiri melalui wadah Forum Anak.

Di sisi lain, kata Gemala Ranti lebih jauh kekerasan terhadap anak seperti fenomena gunung es. Yakni, yang muncul ke permukaan hanya sebagian. Karena itu, perlu sosialisasi tentang pentingnya peran masyarakat sebagai pelapor dan pelopor.

Faktor lain pencatatan dan pelaporan data kasus kekerasan belum optimal. Masih banyak  kabupaten/kota yang tidak  mencatatkan dan melaporkan kasus  kekerasan melalui Sistem Informasi Online (SIMFONI) PPA sehingga korban tidak tertangani dengan baik dalam pemenuhan hak-haknya. 

Kasus Anak

Berdasarkan Data SIMFONI PPA  tahun 2020 s/d 2022, terdapat 1.626 anak yang menjadi korban kekerasan. Berdasarkan Data  Di 2022 korban  kekerasan terhadap anak lebih banyak terjadi pada anak  Perempuan dibandingkan anak laki-laki. Kasus tertinggi  korban kekerasan  anak perempuan adalah Kabupaten Pasaman Barat (41 anak )  disusul  Kab  50 Kota  (39 anak ) Kab Dharmasraya  dan  Kab Agam masing-masing (35 anak)  dan  Kota Padang (34 anak). 

Sementara atas tingginya kasus kekerasan pada anak, Gubernur Sumbar, Mahyeldi meminta semua pihak untuk saling bersinergi dalam menuntaskan persoalan tersebut. 

"Penanganan kasus kekerasan pada anak bukan hanya tanggung jawab dinas pemberdayaan perempuan, tapi melibatkan semua pihak," terang gubernur.

Gubernur optimis dengan adanya sinergitas antar semua pihak, berbagai kasus kekerasan pada perempuan dan anak bisa ditekan. Salah satu kegiatan yang diselenggarakan untuk penanganan kasus adalah kegiatan Forum Organisasi Perangkat Daerah Urusan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (Forum OPD P3AP2KB), yang diselenggarakan Selasa (21/2) di Padang.

Kegiatan itu diikuti oleh 140 peserta yang berasal Bappeda Kabupaten/Kota se Sumatera Barat, OPD Kabupaten/Kota yang membidangi Urusan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana dan OPD/Instansi/Lembaga terkait di Sumbar. YL

0 Comments