Segelas Teh Hangat di Terrace Cafe, Kala Senja




Khairul Jasmi

Segelas teh hangat di gelas runcing pepat ke bawah, terletak di atas piring kecil, berat sebelah, terasa nikmat. Inilah Jumat (2/12) senja di Terrace Kafe& Resto, Truntum Inna Muara, Padang.
 

Senja raya ini, alam seperti sedang beristirahat, membiarkan awang-awangnya terasa lapang. Dan, lampu jalan menyala di balik rimbunnya pohon-pohon pelindung di Jalan Gereja ini. Ada pohon palm, tinggi-tinggi tanggung, di halaman hotel, dililiti bola-bola lampu kecil yang menyala cemerlang, menemani senja menuju malam.
 

Di meja kayu, dengan bangku kayu tempat saya duduk, ada vas bunga warna putih, senada dengan warna gelas, tampil simetris, dengan dua tangkai bunga, bergerak-gerak kecil disapa angin. Meja berjejer melengkung, mengikuti pagar kafe di ujung hotel ini. Sedang di seberang jalan sana, di sisi Taman Melati, PKL telah sejak sore tadi membuka dagangannya. Mereka akan bersama malam hingga menuju pagi.

 

Hotel Sejarah
----------------------
 

Inna Muara atau Truntum sekarang  semua adalah bangunan baru. Hotel BUMN ini semakin maju. Hotel ini milik PT Hotel Indonesia Natour (Persero), di bawah Dirut, Iswandi Said.
 

Hotel tua ini dibangun kembali pascagempa 2009, yang tugunya ada di seberang hotel tersebut. Memakan biaya sekitar Rp160 miliar. Pada awalnya, ini hotel terbaik di Padang, Sumatra's Westkust berdiri 1918 yang namanya sampai sekarang, nyaris tak tertirukan, Orange Hotel, milik  Wilheminus Fransiscus. Siapa pengusaha ini? Entah.
 

Di hotel inilah para penggede Belanda menginap. Mereka mengurus negeri kita, lalu mewariskan banyak infrastruktur. Sekarang sebagian besar kita nikmati.
 

Analisa yang bisa diterima akal, kenapa orang Minang zaman lampau pintar-pintar, jawabnya karena mereka bisa mengakses sekolah, orangtuanya pedagang dan perantau. Tapi, ada tiga hal penting yang nyaris luput. Pertama karena bagusnya infra struktur berupa, jalan raya, jembatan dan jalur kereta api. Kemudian pelabuhan.
 

Jalan raya dibangun setelah Perang Paderi guna mengusai jantung Minangkabau. Mobil pun masuk. Jalur kereta untuk batubara dan emas. Kedua hal ini, membuka akses ke kota. Lalu pelabuhan, membuka akses ke Belanda. Tambang batu bara, pabrik semen dan infrastuktur itu, awal dari era industrialisasi di Minangkabau. Itu semua perlu hotel, karena tamu kian banyak.
 

Ketiga, majunya pendidikan, juga disebabkan telah tersusunnya kembali jaringan ulama Minangkabau pasca Paderi. Ini tak perlu hotel tapi melahirkan generasi terdidik.

 

Inna Muara hadir di era hebat itu, menjadi hotel terbaik. Lalu waktu terus melaju ke depan dan hinggap di era orang bepergian dengan gampang:  sekarang.

 

Dan sekarang saya di kafe ini, segera akan pergi sebab Magrib sudah masuk. Secangkir teh hangat tak sempat dingin, karena sudah habis. Dua potong pisang goreng terasa nikmat. Pisang itu ditarok di atas piring bagai perahu cadik. Di alas daun pisang lalu ada keju - bukan dari Belanda - dan sebiji stroberi serta sebuah garpu, mewakili kemewahan kecil. Saya hampai saja, kapan pula lagi, ya ndak?

Malam telah tiba, Padang sedang menyanyikan sebuah lagu, tentang masa depan. Lagu itu, terus digubah. **

0 Comments