VAKSINASI COVID-19 : SOLUSI BARU?

                                                     

Ilustrasi

 Oleh

dr. Nurul Fitri Khumair

Mhasiswa S2 Magister Administrasi Rumah Sakit

 

Angka kejadian infeksi Covid-19 (Coronavirus Disease 19) kian hari semakin meningkat. Belum tampak adanya penurunan kasus yang mengarah pada selesainya pandemi terutama di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan RI per tanggal 27 Desember 2020 didapatkan kasus konfirmasi di Indonesia bertambah sebanyak 6.528 kasus menjadi 713.365, dengan angka kematian 21.237 (2,98 %) diatas rata – rata dunia (2,19%). Sedangkan data kematian tenaga kesehatan dari tim mitigasi PB IDI per 15 Desember 2020 adalah sebanyak 363 orang dengan rincian 202 dokter, 15 dokter gigi dan 146 perawat.


Kebijakan yang belum adekuat, perilaku masyarakat yang acuh, serta perlindungan kepada tenaga kesehatan yang belum optimal menjadi penyebab pandemi Covid-19 di Indonesia belum reda. Meskipun pemerintah dibantu oleh media massa untuk sosialisasi menerapkan kepatuhan protokol kesehatan sebagai langkah pencegahan dan pengendalian infeksi, namun perilaku dan budaya masyarakat Indonesia yang beraneka ragam tampaknya membuat upaya ini kurang efektif dalam menghadapi pandemi. Menurut juru bicara satgas penanganan Covid-19, Prof Wiku Adisasmito, satu upaya pengendalian Covid-19 saja tidak akan efektif jika tidak disertai upaya lain untuk menutup kekurangan yang lainnya. Misalnya penerapan protokol kesehatan 3M yaitu memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan atau upaya 3T yaitu testing (pemeriksaan), tracing (pelacakan) dan treatment (perawatan), tidak akan cukup bila fokus pada satu aspek saja. Selanjutnya pemerintah harus bertindak cepat mengambil keputusan yaitu menerapkan protokol dilengkapi dengan pemberian vaksin guna mengakhiri pandemi.


Di Indonesia, hingga 18 Desember 2020, sudah berjalan proses uji coba vaksin Covid-19 jenis Sinovac pada 1.620 relawan di Bandung. Vaksin Sinovac dibuat dengan menggunakan teknologi inactivated virus atau virus yang tidak aktif lagi. Dengan menggunakan inactivated virus, pembuatannya menggunakan partikel virus yang dimatikan agar memicu sistem kekebalan tubuh terhadap virus, tanpa menimbulkan respons penyakit yang serius. Prinsip kerja vaksin adalah mengenalkan virus tersebut kepada tubuh kita, agar tubuh kebal ketika mendapat paparan virus.


Sebelum benar- benar di berikan kepada masyarakat, vaksin tersebut perlu dilakukan pengujian, mulai dari tahap preklinik, tahap klinik 1-3, hingga penetapan penggunaan vaksin. Pengujian dilakukan guna evaluasi keamanan khasiat dan mutu vaksin dengan merujuk standar internasional dan evaluasi Emergency Use Authorizathion (EUA) atau izin edar vaksin dalam kondisi darurat. Evaluasi tersebut dilakukan oleh Badan POM, komite nasional penilai obat dan para ahli di bidang vaksin. Dimana pengambilan keputusan berdasarkan landasan ilmiah yang bisa dipertanggung jawabkan dan bersifat independen. Selain vaksin Covid-19 Sinovac, ada 5 jenis vaksin lainnya yang disetujui oleh pemerintah. Hal ini karena vaksin tersebut memiliki keunggulan dan kekurangannya masing -masing. Misalnya vaksin Sinovac yang direkomendasikan untuk usia 18-59 tahun dapat ditutupi oleh vaksin Pzifer/BioNTech yang bisa direkomendasikan bahkan untuk usia lebih dari 91 tahun. Meskipun banyak jenis vaksin yang disediakan, namun pemerintah tetap akan memastikan efikasi dan efektivitas kegunaan vaksin - vaksin tersebut terlebih dahulu karena keselamatan masyarakat merupakan prioritas nomor satu.


Vaksinasi dalam masa pandemi, tidak hanya berguna untuk kekebalan individu saja, tetapi juga agar terciptanya herd immunity atau kekebalan kelompok yang akan melindungi masyarakat tertentu yang sama sekali tidak bisa diberikan vaksin. Dengan begitu, rantai penularan infeksi bisa diputus dan menghentikan pandemi. Setiap obat pasti memiliki efek negatif, termasuk vaksin. Adapun efek negatif yang dilaporkan adalah KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi). KIPI adalah setiap kejadian medis yang tidak diinginkan, terjadi setelah pemberian imunisasi, dan belum tentu memiliki hubungan kausalitas dengan vaksin. KIPI yang mungkin terjadi setelah vaksinasi Covid-19 hampir sama dengan vaksin yang lain, yaitu reaksi lokal seperti nyeri dan kemerahan, reaksi sistemik seperti demam dan nyeri otot, dan reaksi lain seperti alergi hingga pingsan.

            


Menjelang keluarnya izin edar oleh BPOM, banyak masyarakat mempertanyakan legalitas, keamanan, dan pertanggungjawaban hukum terkait vaksin yang akan digunakan. Tidak sedikit juga masyarakat yang menolak dan ragu – ragu terhadap vaksin ini, lantaran proses pengujiannya yang terkesan cepat. Setidaknya butuh waktu minimal 12-18 bulan untuk membuat vaksin. Dan butuh hitungan tahun untuk membuktikan bahwa sebuah vaksin benar – benar aman dan sesuai dengan hasil yang diharapkan. Namun melihat kondisi pandemi Covid-19 yang terjadi di dunia termasuk Indonesia saat ini, tidak memungkinkan menunda hingga bertahun – tahun untuk memerangi infeksi Covid-19. Oleh karena itu, para peneliti dengan bantuan teknologi baru dan dana yang banyak diharapkan dapat menyelesaikan misi pembuatan dan pengembangan vaksin dengan waktu yang lebih cepat. Meskipun begitu, pemerintah Indonesia tidak akan mengedarkan vaksin apabila belum mendapatkan izin edar atau EUA dari BPOM. EUA keluar setelah selesainya uji klinik fase ketiga. Rekomendasi WHO terhadap EUA adalah pengamatan 3 bulan setelah penyuntikan yang digunakan sebagai dasar pemberian izin penggunaan darurat.

            


Apabila vaksin Covid-19 sudah mendapatkan izin edarnya, apakah boleh untuk menolak mendapatkan vaksin? Jika di tilik dari segi hukum kesehatan, setiap individu memiliki hak untuk sehat. Apabila ada individu yang menolak untuk divaksinasi di masa pandemi, sehingga bisa menjadi sumber penularan infeksi diwaktu mendatang, maka hal ini akan melanggar hak individu lainnya untuk mendapatkan kesehatan. Sedangkan untuk sanksi pidana, saat ini belum ada peraturan di tingkat pusat yang mengatur sanksi pidana bagi pihak yang menolak divaksinasi Covid-19. Hanya terkait orang/sekelompok orang yang menghalang-halangi penyelenggaraan imunisasi dapat dikenakan sanksi yang merujuk pada Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular yaitu: “ Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp1 juta.”.



Sedangkan di tingkat daerah, baru DKI Jakarta yang membuat Perda tentang pemberlakuan sanksi pidana bagi masyarakat yang menolak vaksinasi Covid-19, tertuang dalam  Pasal 30 Perda DKI Jakarta 2/2020 : “Setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan pengobatan dan/atau vaksinasi Covid-19, dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).” Sementara daerah lain menilai lebih baik konsisten saja dalam memberikan edukasi. Hal ini lantaran pemerintah daerah masih mengkaji perihal sanksi terkait penolakan pemberian vaksin karena berisiko melanggar HAM (Hak Asasi Manusia). Namun melihat ragam masyarakat Indonesia, Apakah cukup dengan edukasi saja? Wallahu’alam.

            


Saat ini, pemerintah sudah berusaha untuk mengambil langkah terbaik untuk memerangi pandemi Covid-19. Namun usaha pemerintah tidak akan berhasil tanpa dukungan dari rakyatnya. Melihat trend Covid-19 yang masih terus meningkat, membuat vaksinasi penting untuk dilakukan. Semoga vaksin yang dipilih untuk kita merupakan vaksin yang tepat untuk diberikan. (*)

0 Comments