Muharman/Cendana news |
Oleh :
Muharman, S.Pt,
M.Sos
(ASN
Pemko Pariaman dan Relawan Yayasan Ruang Anak Dunia Sumbar)
Informasi penularan Covid-19 yang
ditularkan kepada para pelajar dan diberitakan oleh salah satu surat kabar di
Padang memang mengejutkan publik. Beragam spekulasi muncul, yang tidak setuju
kebijakan pembukaan kegiatan belajar mengajar disekolah menyalahkan kebijakan
tersebut bahkan yang ekstrim ada kelompok masyarakat yang mulai memprediksi
gelombang ke-dua Covid-19 terjadi melalui penularan klaster sekolah. Apapun itu yang pasti bahwa penularan
Covid-19 pada kelompok anak-anak harus tetap diwaspadai. Penelusuran kasus penularan Covid-19 pada
anak bukanlah perkara mudah. Setiap
kemungkinan bisa saja terjadi. Apakah
tertular dari anggota keluarga yang berstatus positif, tanpa gejala atau bahkan
bisa saja ditularkan melalui kontak dengan kelompok sebayanya disekolah.
Situasi ini menandakan bahwa hingga hari ini masih banyak keluarga belum
sepenuhnya mampu beradaptasi positif dengan pandemi Covid-19, hal ini paling
tidak disebabkan oleh beberapa hal antara lain.
Pertama, keluarga
sebagai institusi penting dalam membangun pemahaman dan nilai-nilai belum
sepenuhnya memainkan perannya sebagai sosialisasi primer kepada anggota keluarga
terkait bahaya dan dampak yang ditimbulkan oleh Covid-19. Kegagalan keluarga ini disebabkan oleh
lemahnya kepemimpinan dalam keluarga terkait bagaimana melakukan proteksi
terhadap anggota keluarga terutama kepada anak.
Karena usianya yang dalam proses pertumbuhan dan perkembangan baik
secara fisik maupun kemampuan kognitif, maka penting bagi kepala keluarga untuk
memastikan penyampaian informasi yang benar terkait Covid-19 kepada anak secara
terus menerus. Selain persoalan
leadership di atas, masalah dalam keluarga juga dikontribusikan oleh munculnya
rasa ‘ketidak yakinan’ dalam keluarga akan keberadaan virus Covid-19. Kepala keluarga atau orang dewasa lainnya
dalam keluarga menganggap bahwa Covid-19 adalah sebuah ‘konspirasi imajinasi’
orang-orang yang berkepentingan terhadap terganggunya tatanan dunia. Anggapan yang sesungguhnya muncul dari rasa
frustasi akibat dampak Covid-19 inilah yang kemudian mewarnai persepsi negatif
anak akan bahaya Covid-19. Akibatnya
protokol kesehatan yang mestinya dilaksanakan dengan ketat, tidak terwujud.
Kedua, munculnya
sindrom ‘cabin fever’, dikutip dari salah satu situs kesehatan, istilah cabin
fever menggambarkan pada munculnya berbagai perasaan negatif akibat terlalu
lama terisolasi di dalam rumah atau tempat tertentu. Perasaan yang dimunculkan
akibat situasi ini adalah gelisah, sedih, bosan, mudah tersinggung dan beragam
perasaan negatif lainnya, akibat embatasan sosial yang berkonsekwensi terhadap
larangan ke luar rumah. Di tahap awal
pandemi ketakutan akan tertular mampu membuat siapa saja bertahan di rumah,
akan tetapi seiring dengan kejenuhan yang melanda maka satu persatu mulai
muncul pelanggaran terhadap pembatasan dengan berbagai alasan. Istilah “new normal’ sedikit banyak
berkontribusi terhadap melonggarnya kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya
pandemi, new normal seolah-olah diterjemahkan masyarakat sebagai situasi dimana
virus Covid-19 mulai menjauh dari lingkungan mereka. Padahal sesungguhnya istilah new normal harus
dipahami sebagai perubahan pola hidup dengan penerapan protokol kesehatan
sebagai akibat adanya pandemi.
Sejalan dengan pembukaan aktivitas
sekolah, anak-anak yang mengalami ‘cabin fever’ melihat sebuah kesempatan untuk
melepaskan diri dari kejenuhan yang ada.
Akibatnya yang muncul saat sekolah dibuka adalah kelompok anak-anak yang
‘nongkrong’ disekitar sekolah tanpa mempedulikan protokol kesehatan. Tentu saja bukan hal ini yang diharapkan
muncul dari kebijakan pembukaan proses belajar mengajar tatap muka oleh
pemerintah.
Ketiga, menurunnya
intensitas perhatian publik terhadap bahaya pandemi, hal ini setidaknya
terlihat dari berkurangya pembahasan aspek kesehatan dari Covid-19. Media sebagai corong utama penyampaian
informasi kepada masyarakat terlihat tidak se intensif ketika awal pandemi memberitakan
berbagai hal pandemi. Pembahasan pandemi
lebih banyak terkait dampak sosial ekonomi yang dihasilkan serta beberapa
dinamika politik yang disebabkan oleh pandemi.
Memang tidak ada salahnya juga kalau pembicaraan mulai di dorong ke
isue-isue nasional yang lain agar tidak muncul kekuatiran yang berlebihan
terhadap pandemi, akan tetapi memperkuat penyampaian infomasi mengenai bahaya
pandemi Covid-19 juga secara konsisten harus tetap dilakukan, karena sebagai
virus baru, perlu edukasi terus menerus pada masyarakat agar tumbuh pemahanan
yang makin kuat dan benar terhadap situasi yang dihadapi. Dalam konteks ini kelompok anak-anak mestinya
menjadi kelompok yang terus mendapatkan paparan informasi dengan berbagai
metode khas anak-anak, sehingga mereka dapat menerima dan memahami informasi
terkait bahaya pandemi secara utuh dan berkelanjutan. Bukankan bagi anak penting sekali proses
pembelajaran secara terusmenerus, karena anak belum sepenuhnya mampu menerima
informasi utuh hanya dalam satu atau dua kesempatan edukasi.
Berkaca akan situasi diatas, maka
saatnya perlu dilakukan berbagai pendekatan agar penularan pandemi Covid-19
benar-benar bisa di tekan dan kita semua terhindar dari kekuatiran ‘gelombang
kedua penularan’. Membangun keluarga
tangguh (family resiliency) harus menjadi tujuan bersama, yaitu keluarga
yang memiliki kemampuan untuk melakukan proteksi terhadap anggota keluarga.. Ketangguhan keluarga paling tidak dapat
terlihat dari beberapa hal seperti munculnya sikap kolektif bersam aantar anggota
keluarga dalam menghadapi segala pandemi.
Kolektifitas tersebut muncul dalam bentuk komunikasi yang baik dan
saling terbuka dengan berbagai situasi yang dialami oleh anggota keluarga. Pengaturan keuangan keluarga yang lebih
ketat, kejenuhan yang diraskan, perasaan tertekan dan lain sebagainya menjadi
mudah untuk dibagi dengan sesama anggota keluarga, keterbukaan ini akan
memunculkan sebuah sistem baru dalam keluarga yang lebih solid.
Kepemimpinan yang kuat tentu saja
menjadi faktor penentu dalam menghadirkan keluarga tangguh. Kepemimpinan yang
kuat menjadi prasyarat bagi kepala keluarga dalam memainkan peran-peran
proteksi terutama sekali sebagai media sosialisasi primer dan berkelanjutan
terkait bahaya pandemi. Selain itu
dengan kepemimpinan yang kuat ini keluarga akan mencari berbagai cara untuk
mengatasi berbagai tantangan dalam pengasuhan terhadap anak selama masa
pendemi, kreatifitas keluarga akan muncul dengan sendirinya dalam menghadirkan
beragam aktifitas menarik untuk membunuh kejenuhan yang dialami anak. Dibalik semua itu tentu saja memperkuat
keluarga agar menjadi tangguh menghadapi pandemi harus dibarengi dengan
berbagai kebijakan pemerintah, terutama mendorong upaya yang lebih progresif
dalam memperkuat pengetahuan, sikap dan keterampilan masyarakat terkait
pandemi, barangkali termasuk didalamnya memfokuskan pembelajaran daring/tatap
muka pada anak dengan pengetahuan bagaimana menghadapi pandemi dengan sikap
positif. (disarikan dari hasil webinar).